BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era kebangkitan, pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha menuju Buddha Jayanti saat ini membutuhkan kader-kader yang berpengetahuan luas, sehingga dapat membimbing masyarakat khususnya umat Buddha menjadi umat yang bijak.
Pengetahuan dan pengalaman lapangan bagi mahasiswa untuk kegiatan ritual sangat penting guna meningkatkan Saddha (keyakinan) serta tata cara ritual di tempat-tempat bersejarah dalam perkembangan agama Buddha, maka dari itu mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya mengikuti kegiatan Dhammayatra.
Dhammayatra adalah salah satu bentuk ritual yang berkembang dari kebutuhan umat dalam memberikan kesempatan menghormati tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan. Tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan tersebut terdapat beberapa hal yang melatarbelakanginya, di antaranya makam orang-orang suci, tempat menyimpan relik para arahat atau para suci, tempat bersejarah dalam perjalanan hidup Sang Buddha, tempat bersejarah dalam pembabaran Dhamma, candi-candi dan lain-lain. Baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri merupakan tempat yang penting bagi umat Buddha. Hal ini dapat dijadikan motivator bagi umat dalam melaksanakan Dhamma, sebagaimana sabda Sang Buddha “Hormati relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga”.
B. Tujuan Dhammayatra
Kegiaran Dhammayatra yang dilaksanakan oleh STABN Sriwijaya ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa STABN Sriwijaya dalam menghormati serta menghayati tempat-tempat yang disakralkan dalam agama Buddha
2. Menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap mahasiswa STABN Sriwijaya dalam melaksanakan Dhamma
3. Mewujudkan dan menjadikan mahasiswa STABN Sriwijaya sebagai kader-kader generasi muda Buddhis yang berkualitas dalam membimbing umat dalam melaksanakan Dhamma; serta
4. Memperbaiki dan meningkatkan mentalitas mahasiswa STABN Sriwijaya dalam beragama Buddha.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar-dasar Dhamma yang Mendasari Kegiatan Dhammayatra
Dasar Dhamma yang mendasari kegiatan Dhammayatra ini terdapat dalam Kitab Suci Agama Buddha yaitu pada petikan MILINDA PANHA Bab 10, halaman 100 mengenai Pemujaan terhadap Relik. “Sang Buddha berkata, jangan menghalangi dirimu sendiri. dengan menghormati apa yang tersisa dari Sang Tathagata”. Pada kesempatan yang lain Beliau berkata, “Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga”.
Terdapat juga dalam Maha Parinibbana Sutta yaitu, “Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melakukan ziarah ke tempat-tempat itu (Dhammayatra), maka setelah mereka meninggal dunia, mereka akan terlahir di alam surga”.
B. Sejarah Obyek Dhammayatra
Obyek-obyek Dhammayatra yang dikunjungi pada kesempatan ini beberapa tempat di Jawa Tengah, antara lain sebagai berikut:
1. STIAB Smaratungga
STIAB Smaratungga terletak di Jl. Semarang-Solo Km. 60 Ampel-Boyolali 57352 Jawa Tengah. STIAB Smaratungga memiliki fasilitas diantaranya:
a. Gedung milik sendiri
b. Perpustakaan
c. Tempat praktikum
d. Labolatorium komputer
e. Auditorim
f. Labolatorium agama yang representatif.
STIAB Smaratungga sebagai lembaga pendidikan tinggi yang pada saat ini telah memasuki dwidasawarsa (20 tahun), merupakan usia yang cukup matang dan dewasa diharapkan mampu mengambil peran dalam pengembangan agama Buddha, yang mampu menjawab tantangan zaman berkesadaran penuh dan memahami wacana yang humanis. Untuk itu STIAB Smaratungga menyediakan dan menerapkan berbagai sistem pembelajaran bersifat humanis dipadu dengan pendidikan Buddhis yang disesuaikan dengan kondisi sosial serta keadaan umat yang dilaksanakan untuk menunjang ke arah profesional dan pengembangan potensi diri.
Sebagai Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Smaratungga memiliki Visi dan Misi untuk mencetak generasi Buddhis yang handal, yaitu:
Visi :
Memiliki sistem budaya kerja sinergis, menghargai belajar, praktek, dan realisasi, dan memiliki kesatuan dalam melaksanakan Tridharma perguruan tinggi sehingga menghasilkan tenaga kependidikan dan non kependidikan yang berkualitas unggul, yang berperilaku baik akademik, terpadu dan inkslusif dalam dunia global.
Misi :
a. Mengembangkan pendidikan akademik dan profesional dalam bidang kependidikan dan non kependidikan Buddhis yang diarahkan untuk menjadi manusia berkesadaran tinggi yang memiliki kecerdasan dan berketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, pembangunan bangsa dan negara.
b. Mengembangkan kegiatan penellitian, pendidikan pengabdian masyarakat untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan buddhism yang mensejahterakan individu, masyarakat dan mendukung pembangunan.
c. Mengembangkan kegiatan pengabdian pada masyarakat yang mendorong segala potensi alam dan manusia, baik secara individu maupun secara bersama untuk mewujudkan masyarakat belajar.
d. Mengembangkan sistem kelembagaan organisasi, managemen, dan administrasi, budaya kerja sinergis dan sumber daya yang menghargai belajar, praktek dan realisasi dan kesatuan dalam melaksanakan Tidhamma perguruan tinggi, dan kewirausahaan serta otonomi pendidikan tinggi.
2. STAB Syailendra
Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra, Semarang, mulai menyelenggarakan perkuliahan sejak 10 September 2001, yang dikelola oleh Yayasan Pendidikaan Syailendra, Semarang. Serta telah memperoleh status terdaftar SK Dirjen Bimas Hindu-Buddha Departemen Agama RI, Jakarta, Nomor: DJ. VI/82/SK/2003 tanggal 28 Juli 2003.
STAB Syailendra juga memiliki beberapa Fasilitas yang tersedia diantaranya:
a. Ruang kuliah yang memadai
b. Koleksi perpustakaan yang selalu berkembang
c. Ruang komputer dengan akses internet
d. Perangkat gamelan sarana pengembangan seni budaya
e. Lahan pertanian praktek kewirausahaan
f. Lapangan olahraga.
STAB Syailendra juga melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diantaranya:
a. Pabbajja Samanera Sementara Umum dan Atthasilani di Vihara Mendut, Magelang
b. Badan Eksekutif Mahasiswa
c. Latihan kepemimpinan
d. Latihan olahraga beladiri Aikido
e. Pembinaan umat Buddha dan sekolah minggu buddhis.
3. Lawang Sewu
Lawang Sewu berdiri pada tahun 1863. Lawang Sewu ini berdiri pada zaman Belanda. Lawang Sewu pertama kali digunakan oleh perusahaan kereta api Belanda yang kemudian dikuasai oleh Jepang dan dijadikan sebagai markas militer. Struktur bangunan Lawang Sewu terdiri dari tiga lantai yang dahulunya pernah digunakan oleh Komandan empat Diponegoro.
Bangunan ini diberi nama Lawang Sewu karena bangunannya kira-kira mempunyai 1000 pintu dan pintu ini saling berhubungan. Pada lantai dasar dari bangunan ini digunakan sebagai penjara bawah tanah, dan penjara bawah tanah ini terbagi menjadi dua macam yaitu: Penjara berdiri dan Penjara jongkok
Lantai kedua merupakan ruangan utama yang digunakan sebagai tempat komandan. Selain itu terdapat ruangan yang mempunyai enam pintu, serta dua bangunan yang menggunakan penyangga besi diantaranya pada bagian belakang (1916) dan pada bagian samping.
Bangunan di tengah kompleks digunakan sebagai tempat rumah dinas pada zaman Belanda dan terdapat sebuah sumur yang berada di samping Tugu Muda yang digunakan untuk kebutuhan air pada zaman Belanda.
Lantai ketiga digunakan sebagai gudang untuk menyimpan hasil bumi, rempah-rempah dan lain-lain. Konstruksi bangunan ini sudah menggunakan kuda-kuda yang terbuat dari baja berat, serta menggunakan mur atau baut untuk memperkuat kuda-kuda tersebut.
Lawang Sewu juga mempunyai dua tower atau menara air yang berada di sebelah kanan dan kiri yang berasal dari sumur yang dipompa ke atas tower. Pada bagian lain terdapat ruangan yang digunakan sebagai tempat penyiksaan para tahanan Jepang, dan sebuah tangga yang menuju ke lantai dua, dan dinamakan sebagai tangga titanik yang mirip dengan tangga pada kapal titanic.
Tahun 1918 bangunan ini dicor sehingga lebih modern. Dibagian pintu masuk tersebut terdapat tulisan Ing kang yang berarti “masuk”. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pertemuan. Di pintu masuk terdapat ruangan yang digunakan sebagai tempat tahanan yang dibangun pada tahun 1916-1918.
Bangunan kamar mandi di Lawang Sewu terdiri dari dua lantai. Semua yang berada di dalam kamar mandi berasal dari Amsterdam (Belanda). Kamar mandi dibagi menjadi dua yaitu kamar mandi laki-laki dan perempuan. Saat sekarang ini di depan bangunan Lawang Sewu terdapat tugu yang digunakan sebagai peringatan lima hari perang di Semarang.
4. Sam Poo Kong
Sam Poo Kong dianggap sebagai leluhur atau mbah, Beliau adalah utusan dari Cina yang bernama Cheng Ho yang diutus oleh raja membina persahabatan dengan negara-negara tetangga. Cheng Ho melakukan perjalanan dunia sebanyak tujuh kali. Di antaranya dua kali perjalanan ke Indonesia. Perjalanan pertama tahun 1405 dan perjalanan ke dua tahun 1416, dimana Beliau terdampar di pantai Simpongan, dan meninggal tahun 1435, di Zhong Guo. Tahun 1724 dibangun Klenteng Sam Poo Kong untuk mengenang jasa laksamana Cheng Ho, dan setiap tahunnya diadakan ulang tahun kedatangannya pada tanggal 31 Juli–Agustus, namun lebih lazim acara tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus menurut kalender Cina.
Tempat-tempat pemujaan yaitu:
a. Tempat pemujaan dewa bumi yaitu Toa Pe Kong atau Hoek Tek Cen Sin
b. Tempat makam juru mudi yaitu Wang Cing Hong
c. Tempat utama gua suci Sam Poo Kong yang digunakan untuk istirahat Cheng Ho yang diberi nama Petilasan dan disitu juga terdapat sumur.
Pada bagian belakang bangunan terdapat relief-relief yang menceritakan perjalanan Cheng Ho, sedangkan bagian samping sumur terdapat makam mbah Nyai dan Kyai Tumpong, mereka adalah juru masak Cheng Ho yang memeluk agama Islam dari Yunani.
5. Vihara Buddhagaya
Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan kerajaan Majapahit dan “tertidurnya” Buddha Dhamma di Nusantara, munculah berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan sekelompok kalangan penduduk Nusantara akan warisan luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma, agar dapat dipraktikan kembali oleh para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
Usaha yang pada awalnya banyak di pelopori oleh perhimpunan Theosofi di zaman Hindia-Belanda (1920-1930) serta disebarluaskan melalui Majalah Moestika Dharma yang dipimpin oleh Alm. Kwee Tek Hoay. Majalah ini adalah media cetak khusus yang membahas Buddha Dhamma.
Harapan akan adanya orang yang mampu untuk mengajarkan Buddha Dhamma pada para umat dapat terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Thera dari negeri Srilanka pada tahun 1934. Kehadiran Dhammadutta berjubah kuning sesudah 500 tahun tertidurnya Buddha Dhamma di Nusantara tersebut dimanfaatkan umat dan simpatisan untuk mengembangkan diskusi serta memohon pembabaran Dhamma yang lebih luas lagi. Munculah putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh pada penyebaran Buddha Dhamma, yakni pemuda Bogor bernama Tee Boan An yang kemudian dikenal sebagai Ashin Jinarakhita setelah di tahbiskan di Mahasi Sasana Yeikhta, Rangon, Burma pada tanggal 23 januari 1954.
Berkat kepiawaian dan kepribadian Ashin Jinarakhita yang berwibawa dan bijaksana, pada tahun 1955 sesudah perayaan waisak 2549 yang di pimpin oleh Ashin Jinarakhita di candi agung Borobudur, berkesan pada batin seorang hartawan Semarang, Goei Thwan Ling yang kemudian mempersembahkan tanah miliknya untuk di gunakan sebagai pusat pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian diberi nama Vihara Buddhagaya dan pada tanggal 19 Oktober 1955 didirikan yayasan Buddhagaya untuk menaungi aktivitas Vihara.
6. Candi Borobudur
Candi Borobudur dahulunya berasal dari kata Bhumi Sambhara Budhara. Kata ini terdapat pada prasasti Sri Kahulunan tahun 824 M. Sebelah Barat Daya dari Candi Borobudur, berjarak hanya 500 M terdapat desa bernama Bumisegoro. Borobudur dibangun sekitar abad 8-9 M dan nama Syailendra muncul pada Prasasti Sojomerto (Abad 7 M), dimana “Syailendra” adalah nama orang, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Borobudur didirikan oleh wangsa Syailendra yang berkuasa pada waktu itu. Namun setelah Wangsa Syailendra lenyap, Borobudur pun tidak ada kabar beritanya. Berabad-abad Borobudur tertutup kegelapan dan tidak ada tulisan atau berita mengenai Borobudur.
Pada abad ke-17, dalam buku “Babad Tanah Jawi” ada disebut nama Borobudur. Seorang dari kerajaan Yogyakarta pada abad itu pula berkunjung ke Bukit Seriba Area. Bukit Seribu Area Yang dimaksud adalah Borobudur. Sang pangeran meninggal setelah beberapa hari mengunjungi Bukit Seribu Area, dan setelah itu tidak ada lagi berita mengenai Borobudur. Abad ke-19, berita mengenai Borobudur, mulai muncul, yaitu pada waktu Inggris menguasai pulau Jawa. Gubernur Jendral Inggris yang bernama Sir Thomas Stamford Raffles, selama berkuasa periode 1811-1815, Raffles menerima laporan tentang keberadaan candi besar yang tertutup semak belukar, kemudian Raffles mengutus seorang perwiranya yang bernama H. C. Cornelius untuk mengunjungi candi besar, yang ternyata adalah Borobudur. Setelah belukar dibersihkan maka tampaklah sebuah Candi besar dengan patung-patung Buddha yang banyak sekali jumlahnya. Banyak bagian-bagian yang sudah runtuh, patung yang kepalanya patah dan tidak ada lengannya. Sayangnya pemerintahan Inggris tidak berlangsung lama sehingga penelitian dan usaha memperbaiki Borobudur terbengkalai lagi. Namun, sejak itu Borobudur mulai diperhatikan dan banyak orang-orang yang mengunjungi Borobudur.
Pemerintah Belanda mulai berkuasa menggantikan Jepang dan mulai tertarik dengan Borobudur. Namun, tidak semua orang berbuat baik. Patung dan bagian-bagian Candi yang indah banyak di ambil orang atau pejabat pemerintah. Contohnya saja pada tahun 1896 melalui Residen Kedu pemerintah Hindia Belanda mengambil 8 gerobak penuh patung dan bagian Borobudur yang indah dan menghadiahkannya kepada Raja Siam.
Pada tahun 1907–1911 Borobudur direstorasi secara besar-besaran di bawah pimpinan Ir. Th. Van Erp. Ir. Th. Van Erp adalah seseorang insiyur yang berbakat dan penuh perhatian. Borobudur yang hampir runtuh, dibongkar satu persatu, kemudian batu yang tercecer dikumpulkan. Rangkaian demi rangkaian yang terpisah dicari dan disatukan. Percobaan menyusun rangkaian yang sama itu sangat sukar dan lama memerlukan ketelitian dan kesabaran, karena Rangkaian tidak boleh salah.
Hasil kerja Van Erp sangat maksimal, Borobudur kembali tegak seperti yang dapat dilihat sekarang. Selain itu Van Erp juga membuat gambar dari relief yang terbuka dan tertutup. Gambar Van Erp sebelum dan sesudah pemugaran menjadi bukti kerja kerasnya. Sayangnya proses alam tidak dapat di cegah, hujan dan debu selalu menimpa Borobudur. Lumut tumbuh di batu-batu candi, air hujan yang meresap ke dalam batu. Setelah kering menguap karena panas, meninggalkan garam yang merusak batu-batu candi sepert bisul yang pecah. Lapisan tanah di bawah candi amblas dan beberapa bagian candi mulai miring.
Pada tahun 1960 Pemerintah Indonesia berupaya mencegah keruntuhan Borobudur. Persiapan pemugaran Borobudur dimulai dan tahun 1963, pemugaran dilaksanakan. Pemugaran hanya berjalan beberapa saat dan terpaksa dihentikan karena adanya pemberontakan G 30 S/PKI. Pada bulan Agustus 1967, di kota Ann Arbor, Amerika Serikat berlangsung International Congres of Orientalis ke-27. Wakil dari Indonesia adalah Dr. Sukmono. Beliau membawa makalah berjudul “New Light on Some Borobudur Problems”. Makalah itu menarik perhatian para peserta kongres dan mereka mendesak badan organisasi PBB, yaitu UNESCO agar menyelamatkan Borobudur.
Sejak saat itu penelitian dan persiapan untuk memugar Borobudur sangat besar. Banyak Negara di dunia ikut membantu, ada yang mengirimkan ahli-ahlinya, ada juga yang membantu peralatan pemugaran dan yang lain menyediakan dana pembiayaan. Masyarakat dunia di bawah UNESCO bekerja sama menyelamatkan Borobudur dan usaha besar-besaran itu dimulai pada tanggal 10 Agustus 1973. Pemugaran kali ini hampir sempurna dan kita berharap Candi Borobudur dapat bertahan 1000 tahun lagi agar generasi yang akan datang masih dapat menikmati kemegahan Borobudur. Borobudur sekarang bukan milik umat Buddha saja tapi milik seluruh umat manusia sedunia.
Borobudur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Kaki Candi, Badan Candi dan Puncak Candi. Kaki Borobudur yang asli tidak kelihatan, karena ditutup kaki tambahan dari batu sebanyak 11.600 m3. sehingga kaki candi yang asli kini tertutup. Relief kaki candi tersebut Kammavibanga. Sebanyak 160 buah bingkai relief menggambarkan hukum sebab akibat. Di bagian sudut tenggara ada beberapa bingkai Kammavibanga yang sengaja di buka setelah pemugaran. Di atas salah satu relief itu ada tulisan Jawa Kuno berbunyi-Virupa-Artinya Si Buruk Rupa. Bagian kaki candi dan halaman tambahan sebagai lantai pertama dinamakan Kammadhatu. Arti filosofi Kammadhatu adalah alam kehidupan yang masih dikuasai oleh nafsu rendah, dimana manusia belum dapat melepaskan nafsu jahat dan buruk.
Bagian badan candi Borobudur berupa lorong-lorong mengelilingi candi. Lorong candi dibatasi oleh pagar langkah. Diatas pagar langkah terdapat relung-relung yang berisi patung Buddha. Semuanya ada 4 lorong, di kanan-kiri lorong terpahat pada dinding candi dan pagar langkah adalah relief yang indah sekali. Relief itu menghiasi seluruh dinding candi dan pagar langkah. Keadaan sekarang beberapa bagian sudah runtuh, terutama yang di dinding pagar langkan, sedangkan pada dinding candi masih utuh dan berupa rangkaian cerita.
Bagian badan candi itu dinamakan Rupadhatu artinya bagian kehidupan manusia yang sudah meninggalkan nafsu rendah dan jahat, dimana manusia sudah menggunakan keinginan luhur.
Relief pada kanan-kiri lorong bagian Rupadhatu adalah Lalitavistara, Jataka, Avadana dan Gandavyuha. Semua cerita relief itu di ambil dari naskah sansekerta. Selain Lalitavistara yang merupakan riwayat Sidharta Gautama, relief-relief itu berisi ajaran-ajaran agama Buddha.
Puncak candi Borobudur merupakan rangkaian stupa-stupa dengan stupa besar di tengah sebagai puncak. Bagian puncak ini dinamakan Arupadhatu, artinya bagian kehidupan yang sudah meninggalkan sifat keduniaan, alam batin atau alam spiritual. Pada alam ini sudah tidak ada nafsu dan bentuk, dan tidak terdapat relief atau hiasan pada dinding dan bagian stupa. Pada bagian Arupadhatu terdapat tingkatan peralihan, berbentuk dataran yang luas sebagai bujur sangkar. Dinding selanjutnya, sebagai badan puncak candi, bentuknya bulat atau lingkaran yang mempunyai arti tidak bermula atau tidak berakhir.
Stupa-stupa kecil sebanyak 72, terbagi dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama 32 buah, kemudian diatasnya 24 dan terakhir 16 buah stupa. Stupa-stupa itu mengelilingi stupa induk yang besar sebagai pusat dan puncak. Stupa-stupa yang kecil itu berlubang, dengan dua bentuk yakni belah ketupat dan empat persegi. Stupa puncak Borobudur telah beberapa kali mengalami perubahan dan perbaikan, akibat di sambar petir. Setelah dipugar oleh Van Erp, puncak sangat sempurna. Puncaknya berbentuk payung sebanyak tiga susun, namun bentuk sekarang hanya pinakel lurus tanpa payung lagi.
Pada stupa besar Borobudur di dalamnya terdapat berupa kamar atau ruangan, dan langitnya berbentuk piramida. Ruangan itu sekarang kosong dan tertutup, tidak ada pintu untuk masuk. Sewaktu Van Erp memugar Borobudur, di dalam ruangan itu terdapat sebuah patung Buddha yang belum selesai. Stupa besar puncak Borobudur digambarkan sebagai lambang Garbha Tathagata yakni tempat sukma kembali kealam keabadiaan. Garis tengah stupa itu 990 M.
7. Candi Pawon
Candi Pawon didirikan oleh raja Samaratungga (putra raja Indriya) pada tahun 826, prasastinya dikeluarkan pada tahun 824. Candi Pawon merupakan pintu gerbang Candi Borobudur, tempat orang membersihkan badan dan pikirannya dari kekotoran-kekotoran (batin) sebelum mengijak tempat yang dianggap suci itu.
Candi pawon dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian kaki, badan, dan puncak. Pada bagian kaki candi tidak terdapat hiasan-hiasan relief. Pada badan candi sebelah luar, terlihat reliefnya berupa pohon kalpawreksa atau kalpataru, dan dibawahnya ada sepasang kinara-kinari yakni manusia berkaki burung.
Di dalam ruangan candi sekarang kosong. Juga relung yang berada di samping. Dari mana asal usul nama pawon tidak jelas diketahui.
8. Candi Mendut
Candi Mendut didirikan oleh raja Gananatha pada tahun 809, dan prasasti dikeluarkan pada tahun 810. Berdasarkan prasasti Karang tengah dekat Temanggung (tahun 824 M) Dr. J.G. De Casparis menyatakan, Mendut berasal dari kata “Venu Vana Mandira”. Arti kata itu adalah “candi di tengah hutan bambu”.
Di dalam ruangan candi Mendut ini terdapat tiga buah patung Buddha yang besar, dari sisi kiri Vajrapani, dan patung Buddha Sakyamuni yang sangat besar serta rupang Avalokitesvara di sisi kanan.
Di bagian luar candi mendut ini terdapat relief. Di sebelah utara terlukis Dewi Tara sebagai Sakti Buddha. Di sebelah timur adalah Avalokitesvara dan sebelah selatan adalah Manjusri. Relief raja-raja yang mengapit tiga tokoh ini adalah para raja dan prasasti Syailendra.
Pada dinding tangga naik terdapat relief cerita jataka, yang di kenal dengan nama cerita Tantri. Cerita Tantri adalah cerita burung berkepala dua, kera dengan buaya, belibis dengan kura-kura, singa dengan tikus putih dan kisah lainnya.
9. Candi Sewu
Candi Sewu terdiri dari sebuah candi yang agak besar di kelilingi oleh banyak sekali candi-candi kecil. Dalam candi besar terdapat ruangan dengan altar pemujaan dimana diletakkan rupang di altar pada masa lalu tapi masa sekarang altar tersebut telah kosong. Selain candi besar, candi candi kecil juga memiliki ruangan. Karena banyaknya candi yang ada di kompleks ini, maka orang menyebutnya “Candi Sewu” atau “Candi Seribu”. Candi ini terletak tidak jauh dari Candi Prambanan (candi agama Hindu), yang berada di sebelah kiri jalan Yogya menuju Solo. Candi ini termasuk candi di daerah Jawa Tengah. Beberapa candi telah dipugar dan diresmikan oleh Bapak Presiden dan yang lainnya sedang dalam proses.
Candi Sewu dikelilingi beberapa candi Pervara yang sangat indah, sehingga terlihat sangat menakjubkan. Beberapa candi Pervara telah selesai dipugar, dan serupa dengan candi induknya masing-masing dimahkotai dengan stupa. Kemegahan candi Sewu menggambarkan kemegahan spiritual yang menyampaikan pesan sepanjang masa tentang keteguhan batin, kebijaksanaan dan pencerahan.
BAB III
PELAKSANAAN DHAMMAYATRA
A. Pelaksanaan Upacara Ritual
1. Sebelum Memasuki Daerah Sakral/Tempat Suci
a. Siapkan fisik secara benar.
b. Siapkan sarana altar (sarana utama)
c. Siapkan buku catatan
2. Di Daerah Sakral/Tempat Suci
a. Sikap tenang, anjali, perhatian pada objek dengan perenungan Buddha, Dhamma, dan Sangha.
b. Puja Bakti
1) Puja Bhakti di Vihara
- Puja Bhakti diawali dengan duduk bertumpu lutut, bersikap anjali menghadap altar
- Penyalaan lilin dan dupa
- Pembukaan (Namakara Patha)
- Tisarana
- Pancasila
- Ratana Sutta bait 3,4,5,6,7 dan14
- Meditasi selama 30 menit
- Pattidana
- Penutup (Terjemahan dari Namakara Patha).
• Jika dihadiri Bhikkhu (Tisarana Pancasila Aradhana, Meditasi oleh Bhikkhu, Dhammadesana Aradhana).
2) Puja Bhakti di Candi atau Stupa
- Puja Bhakti diawali dengan berdiri dan bersikap anjali menghadap Candi atau Stupa
- Penyalaan lilin dan dupa
- Pembukaan (Namakara Patha)
- Tisarana
- Pancasila
- Pradaksina 3 kali (membaca Buddhanussati, dhammanussati, Sanghanussati berulang-ulang dengan membawa dupa atau bunga)
- Meditasi selama 30 menit.
- Pattidana
- Penutup(Terjemahan dari Namakara Patha).
B. Hasil pembelajaran Obyek Dhammayatra
Setelah beberapa hari mengikuti kegiatan Dhammayatra yang dilaksanakan oleh STABN Sriwijaya, penulis dapat mengetahui bahwa di Indonesia ini banyak sekali bangunan bersejarah seperti candi-candi di Jawa Tengah yang merupakan peninggalan nenek moyang kita dahulu yang perlu kita jaga dan lestarikan keberadaannya agar dikemudian hari para penerus kita masih menikmati kemegahan serta keindahan bangunan-bangunan tersebut. Perasaan bangga penulis akan kemegahan obyek Dhammayatra juga bercampur rasa kecewa dengan apa yang penulis lihat selama kegiatan Dhammayatra berlangsung, karena di tempat-tempat suci yang berkaitan dengan agama Buddha, tidak ada satu umat Buddha pun yang memperhatikan dan menjaga kelestarian tempat tersebut. Sebaliknya yang memperhatikan serta menjaga kelestarian tempat itu adalah umat non Buddhis di sekitar daerah obyek Dhammayatra.
C. Hambatan Dhammayatra
1. Kurangnya sarana dan prasarana untuk melaksanakan ritual saat berada di candi-candi.
2. Di beberapa tempat yang dikunjungi sebagai obyek Dhammayatra tidak terdapat nara sumber yang dapat memberikan gambaran mengenai seluk-beluk berdirinya bangunan tersebut.
3. Waktu yang tersedia sangat terbatas sehingga hasil yang diperoleh dalam kegiatan tersebut kurang maksimal.
4. Pembimbing yang kurang memberi pengarahan bagi para peserta sehingga peserta kurang begitu memahami tujuan dari obyek Dhammayatra tersebut.
5. Panitia kurang memperhatikan waktu yang dibutuhkan di setiap tempat yang dikunjungi, sehingga ada beberapa tempat yang tidak sempat dikunjungi.
D. Upaya Mengatasi Hambatan
1. Sebelum berangkat Dhammayatra, persiapan sarana dan prasarana harus disiapkan terlebih dahulu.
2. Di beberapa tempat yang dikunjungi sebagai obyek Dhammayatra tersebut harus ditunjuk satu orang yang mengetahui tentang seluk-beluk berdirinya bangunan tersebut agar dapat memberikan gambaran yang jelas bagi para pengunjung yang datang ke sana.
3. Para pengunjung dapat membeli buku panduan yang telah tersedia disana, apabila tidak terdapat pemandu atau nara sumber.
4. Para perserta Dhammayatra harus dapat memanfaatkan waktu, jika waktu yang tersedia sangatlah terbatas, sehingga yang diperoleh maksimal.
5. peserta dapat mencari informasi melalui pemandu, jika pembimbing kurang memberikan pengarahan.
6. Panitia harus memperhitungkan waktu yang dibutuhkan di setiap tempat dan waktu yang ditempuh dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dhammayatra merupakan salah satu bentuk kegiatan ritual yang berkembang dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan agama Buddha, dimana tempat-tempat tersebut mempunyai makna sakral atau suci. Selain itu kegiatan Dhammayatra ini juga memberikan kesempatan bagi umat untuk menghormati serta menjaga kelestarian tempat-tempat suci tersebut serta menambah pengetahuan tentang sejarah tempat-tempat yang dikunjungi.
Obyek Dhammayatra yang berada di Jawa Tengah, diantaranya candi-candi yang bernafaskan Buddhis seperti: candi Borobudur, candi Pawon, candi Mendut, candi Sewu dan lain-lain, serta peninggalan bersejarah dalam agama Buddha dan merupakan sebuah bukti nyata bahwa agama Buddha telah berkembang sejak zaman dahulu, sehingga perlu dilestarikan dan kebudayaannya tetap terjaga.
B. Saran
Penulis berharap kegiatan Dhammayatra yang akan datang lebih baik lagi dari yang sebelumnya dan kegiatannya pun dapat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh panitia sebelumnya. Selain itu dalam menentukan pembimbing, panitia harus bisa membagi antara Dosen Senior dengan Dosen Junior agar dalam memberi pengarahan bagi para peserta dapat dengan mudah dimengerti dan dipahami.
Lampiran:
STIAB Smaratungga
STAB Syailendra
Lawang Sewu
Sam Poo Kong
Vihara Buddhagaya
Candi Borobudur
Candi Pawon
Candi Mendut
Candi Sewu
DAFTAR PUSTAKA
Bhikkhu Pesala, 2002. Milinda Panha, Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna.
Rajasa, Aiaz, 2007. Candi Borobudur-Pawon-Mendut, Magelang: Percetakan
“KUPU”
Tim Penyusun Departemen Agama, 2006. Buku Pelajaran agama Buddha SMP
Kelas II, Surabaya: Paramita.
Tim Penyusun, 2003. Sejarah Perkembangan Agama Buddha, Jakarta: CV. Dewi
Kalyana Abadi.
Senin, 14 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Playtech casinos: how the world's biggest online gambling company
BalasHapus› casino-sites › casino-sites Jun 24, 2021 공주 출장샵 — Jun 24, 2021 Playtech 전라남도 출장마사지 has 영주 출장마사지 been around for 광주 출장샵 a long time, and it is truly the first-ever online 안성 출장샵 casino software provider to enter the iGaming and iGaming