Senin, 14 September 2009

Dhammayatra Jawa Timur


LAPORAN
DHARMAYATRA KE JAWA TIMUR















Oleh
Saputro Edi Hartono
NIM: 0250106010196



SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG BANTEN
2009


HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kegiatan Dharmayatra ini telah disetujui dan disahkan pada tanggal
09 Juni 2009









Ketua panitia, Pembimbing,


Suyanto, S.Pd. Ir. Suhartoyo Pusaka Jati, M.M
NIP. 131677498 NIP. 080078464









KATA PENGANTAR

Berkat pancaran sinar cinta kasih Sang Tiratana, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil kegiatan Dharmayatra yang dilaksanakan oleh STAB Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten dengan baik tanpa ada suatu kendala apapun.
Laporan hasil kegiatan Dharmayatra ini disusun guna memenuhi tugas wajib bagi semua mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten yang bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dalam menghayati serta memahami makna sakral yang terdapat pada tempat-tempat suci agama Buddha, memperdalam keyakinan penulis dalam menjalankan hidup yang sesuai dengan Dharma, menciptakan kader-kader Buddhis yang berkualitas dalam membimbing umat Buddha. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua panitia pelaksana Dharmayatra ke Jawa Timur, dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, sehingga laporan ini dapat terselesaikan.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan serta kelemahan sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun agar laporan hasil kegiatan Dharmayatra ini menjadi lebih baik. Demikian laporan ini disusun agar dapat memberi manfaat bagi semua makhluk.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Sadhu…..sadhu…...sadhu

Tangerang, Juni 2009

Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Dharmayatra 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar-Dasar Dharma yang Mendasari
Kegiatan Dharmayatra 3
B. Sejarah Objek Dharmayatra 4

BAB III PELAKSANAAN DHAMMAYATRA
A. Pelaksanaan Upacara Ritual 40
B. Hasil Pembelajaran Objek Dharmayatra 42
C. Hambatan Dharmayatra 42
D. Upaya Mengatasi Hambatan 43

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 44
B. Saran 44

LAMPIRAN 46
DAFTAR PUSTAKA 48


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam era kebangkitan, pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha menuju Buddha Jayanti saat ini membutuhkan kader-kader yang berpengetahuan luas, sehingga dapat membimbing masyarakat khususnya umat Buddha menjadi umat yang bijak.
Pengetahuan dan pengalaman lapangan bagi mahasiswa untuk kegiatan ritual sangat penting guna meningkatkan Saddha (keyakinan) serta tata cara ritual di tempat-tempat bersejarah dalam perkembangan agama Buddha, maka dari itu mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya mengikuti kegiatan Dharmayatra.
Dharmayatra adalah salah satu bentuk ritual yang berkembang dari kebutuhan umat dalam memberikan kesempatan menghormati tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan. Tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan tersebut terdapat beberapa hal yang melatarbelakanginya, di antaranya makam orang-orang suci, tempat menyimpan relik para arahat atau para suci, tempat bersejarah dalam perjalanan hidup Sang Buddha, tempat bersejarah dalam pembabaran Dharma, candi-candi dan lain-lain. Baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri merupakan tempat yang penting bagi umat Buddha. Hal ini dapat dijadikan motivator bagi umat dalam melaksanakan Dharma, sebagaimana sabda Sang Buddha “Hormati relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga”.

B. Tujuan Dharmayatra

Kegiaran Dharmayatra yang dilaksanakan oleh STABN Sriwijaya ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa STABN Sriwijaya dalam menghormati serta menghayati tempat-tempat yang disakralkan dalam agama Buddha,
2. Menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap mahasiswa STABN Sriwijaya dalam melaksanakan Dharma,
3. Mewujudkan dan menjadikan mahasiswa STABN Sriwijaya sebagai kader-kader generasi muda Buddhis yang berkualitas dalam membimbing umat dalam melaksanakan Dharma; serta
4. Memperbaiki dan meningkatkan mentalitas mahasiswa STABN Sriwijaya dalam beragama Buddha.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar-Dasar Dharma yang Mendasari Kegiatan Dharmayatra

Dasar-dasar yang mendasari kegiatan Dharmayatra yang dilaksanakan STAB N Sriwijaya ke Jawa Timur adalah dasar hukum dan dasar teologis. Dasar hukum antara lain:
1. Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Peraturan Presiden No. 76 tahun 2005 tentang penegrian STAB Sriwijaya Tangerang Banten.
3. Peraturan Menteri Agama RI No. 7 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja STAB N Sriwijaya Tangerang Banten.
4. Rancangan Statuta STAB N Sriwijaya.

Kegiatan Dharmayatra ini juga mempunyai dasar teologis yaitu Sabda-sabda Sang Buddha seperti:
1. “Hormati relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surge.” (Petikan Milinda Panha halaman 100).
2. “Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melaksanakan ziarah ke tempat-tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia, mereka akan terlahir kembali di alam Surga.” (Maha-Parinibbana Sutta).
3. “Demikian pula dapat dilaksanakan para Buddha yang telah mencapai Pari-nirvana, dapat pula dilihat stupa-stupa terbuat dari pada tujuh macam bahan untuk menempatkan sarira (relik) para Buddha yang didirikan setelah para Buddha mencapai Pari-nirvana.” (Petikan saddharma pundarika sutra hal.5)

B. Sejarah Objek Dharmayatra

1. Vihara Samaggi Jaya

Vihara Samaggi Jaya terletak di Jln. Slamet Riyadi No. 21 Blitar, Jawa Timur. Sebuah tempat ibadah Agama Buddha di Blitar, Jawa Timur yang indah dan terletak sangat strategis yaitu 400 m sebelah Selatan makan Proklamator Ir. Soekarno. Vihara ini adalah merupakan salah satu aset penting Sangha Theravada Indonesia. Disini dapat diperoleh informasi tentanglatar belakang umat Buddha di kota Blitar dan sekitarnya, juga tentang proses pembangunan sampai dengan peresmian Vihara Samaggi Jaya.
Perjalanan sejarah Vihara Metta Kirana ternyata membukakan pengertian yang lebih luhur dalam diri keluarga Bapak Suroto. Mereka bermaksud mempersembahkan Vihara ini kepada Sangha Theravada Indonesia. Dengan mengambil waktu yang peling tepat yaitu Hari Waisaka Puja 2532/1988, Vihara Metta Kirana dengan luas tanah 210 m2 serta bangunan 80 m2 terdiri dari satu ruangan yang difungsikan sebagai dharmasala dan satu ruangan yang sama besarnya untuk kuti, perpustakaan, ruang tamu, ruang makan dan sekaligus gudang secara resmi dipersembahkan kepada Sangha. Dalam kesempatan itu, Sangha Theravada Indonesia diwakili Yayasan Dhammadipa Arama menerima persembahan ini dengan mudita citta.
Setelah serah terima berlangsung, maka oleh Sanghanayaka Sangha Theravada Indonesia, Sri Pannavaro Thera (pada waktu itu), nama Vihara ini diganti menjadi VIHARA SAMAGGI JAYA, yang artinya PERSATUAN MEMBUAHKAN KEMENANGAN atau dalam bahasa Jawa sering dikenal sebagai ”Rukun Agawe Santoso”.
Pada awal pembangunan Vihara ini para umat Buddha bekerja bakti secara bersama-sama dengan sistem kekeluargaan. Pekerjaan pembangunan Vihara ini diadakan pembongkaran terlebih dahulu terhadap Vihara yang lama. Setelah pembangunan Vihara ini selesai maka diadakan penempatan Buddha rupang yang melibatkan banyak pihak. Setelah Vihara ini selesai dibangun kemudian diresmikan pada tanggal 09 September 1991 pada pukul 9 lebih 9 menit, 9 detik dan diresmikan oleh 9 orang Bhikkhu Sangha.
Di Vihara Samaggi Jaya terdapat juga ruangan Dharmasala, tempat serba guna, penginapan, kuti, dapur, kamar mandi, ruangan kelas Dharma dan perpustakaan. Pada dinding pagar terdapat ukiran yang mengisahkan tentang Dewi Mahamaya serta menceritakan mimpi Dewi Mahamaya, Pangeran Siddharta lahir, Pangeran melihat empat peristiwa, Pangeran meninggalkan istana, Pangeran meninggalkan harta benda, Pangeran memotong rambut di sebelah sungai Anom, Pangeran menjadi pertapa, Pangeran menyiksa diri, mencapai penerangan sempurna dan membabarkan Dharma kepada lima orang pertapa.

2. Museum dan Makam Bung Karno

Museum proklamator Bung Karno merupakan tempat perpustakaan dan koleksi-koleksi peninggalan Bung Karno. Museum ini terdiri dari tujuh bangunan utama yaitu:
a. Bangunan Utama
Terletak paling depan yang berada di tengah-tengah. Bangunan utama ini terdapat sebuah patung Bung Karno berukuran besar dan disisi kiri-kanan terdapat jalan menuju ke museum, bangunan koleksi dan perpusakaan serta bangunan penunjang.
b. Bangunan penunjang
Bangunan penunjang berada di sebelah kanan bangunan utama yang merupakan kantor.
c. Ampli Teather
d. Bangunan Koleksi Non Perpustakaan
Bangunan ini berada di sebelah kiri bangunan utama ddan di belakang bangunan Ampli Teather. Bangunan koleksi non perpustakaan banyak terdapat foto-foto perjuangan Bung Karno dan kawan-kawan dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dalam bangunan koleksi juga terdapat lukisan Bung Karno berukuran besar yang dibuat untuk memperingati satu abad Bung Karno pada tahun 2003. Konon cerita lukisan tersebut berdetak seperti detakan jantung manusia. Dalam bangunan koleksi juga terdapat benda-benda peninggalan Bung Karno seperti koper bersejarah.
e. Makam Bung Karno
Terletak di belakang bangunan utama. Bangunan makam selain terdapat makam Bung Karno juga terdapat dua makam lagi yaitu: makam ayah dan makam Ibu Bung Karno.
f. Makam Umum
Terletak di paling belakang komplek museum plokamator Bung Karno.




3. Candi Panataran

Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815. Lokasi candi Penataran terletak di lereng barat-daya gunung kidul, di desa Penataran, kecamatan Blitar. Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit disusul masuknya agama Islam, banyak bangunan suci agama Hindu-Buddha ditinggalkan oleh masyarakat.
Permulaan abad XIX, komplek percandian Penataran diteliti oleh para ahli yang dilakukan oleh Sir Tomas Stamford Raflles (1781-1826) yang mengadakan kunjungan ke candi Penataran. Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan penanganan candi Penataran lebih intensif.
Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12,946 meter berjajar dari barat-laut ke timur. Kelompok percandian terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu: halaman A, halaman B, dan halaman C. pada halaman B dahulu tertutup oleh diding tembok keliling namun sekarang sudah runtuh.
Susunan komplek percandian penataran mirip dengan susunan pura-pura di pulau Bali dimana bangunan di paling belakang adalah yang paling suci karena terdapat banngunan pusat atau bangunan induk yang mirip tempat bagi Dewa-dewa. Sebelum masuk komplek percandian terdapat dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) atau “Mbah Bodo” yang menarik dari kedua arca adalah pahatan angka tahun yang terdapat pada landasan arcanya. Angka tahun tersebut tertulis dalam huruf jawa kuno. Tahun 1242 Saka dalam tahun Masehi menjadi 1320. berdasarkan pahatan angka tahun kedua arca para sarjana berpendapat bangunan suci palah (candi Penataran) diresmikan pada kuil Negara pada zaman Raja Jaya Negara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1303-1328.
Disebelah timur kedua arca penjaga terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari gerbang bata merah. Di bagian terdapat halaman A masih dapat disaksikan enam buah bekas bangunan, dua buah tidak dapat dikenali. Bangunan-banngunan penting yang terdapat di halaman A adalah: Sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang disebut Bale Agung, bangunan bekas tempat pendeta, bangunan persegi empat disebut Pendopo Teras atau Batur Pendopo, bangunan berupa candi kecil yang disebut candi Angka Tahun. Bangunan yang terdapat dalam halaman B adalah: Dua buah arca dwaraphala, tujuh buah bangunan dimana enam buah tidak dapat dikenali dan satu buah disebut candi Naga. Sedangkan pada halaman C terdapat bekas pintu gerbang yang diduga oleh dua buah arca Dwaraphala, dua buah bangunan candi induk.
Disebelah selatan bangunan candi masih terdapat sebuah prasasti yang menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Isi prasasti menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Phala. Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya diluar komplek percandian, bangunan tersebut adalah berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi dan kolam pertitaan dengan ukuran kurang lebih 200 meter di arah timur laut komplek percandian.
Komplek percandian Penataran pada dinding terdapat relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias yang dipahatkan pada dinding bangunan. Pada bagian belakang arca dwaraphala, dinding kolam, dinding pendopo teras terdapat tulisan singkat dalam huruf jawa kuno yang diduga merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita. Relief-relief di komplek percandian penataran, antara lain:
a. Relief Sang Setyawan
Dinding sisi timur bangunan pedopo teras. Relief ini menceritakan seorang penduduk kayangan yang mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan segala pekerjaan. Suatu ketika sang setyawan menghadapi kerajaan Puspa Tan Alum, karena Raja terpikat atas sifatnya kemudian dijodohkan dengan putrinya pada suatu hari Sang Setyawan pergi menjadi pertapa.
b. Relief Sri Tanjung
Dinding sisi barat ke selatan bangunan pendopo teras. Relief ini menceritakan pangeran Sidapaksa seorang keturunan pandawa yang mengabdi pada Prabu Sulakrama di Negeri Sindurejo yang kemudian mempersunting Sri Tanjung.
c. Relief Buksah Gagang Aking
Dinding pendopo teras sisi timur. Relief ini menceritakan dua orang bersaudara yang bertapa untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
d. Relief Ramayana
Dinding teras pertama candi induk. Relief ini menceritakan Hanoman pemimpin kera yang diutus ke Alengka untuk mencari Sinta.
e. Relief Kresnayana
Di dinding teras kedua candi induk. Relief ini menceritakan pembatalan perkawinan dewi Rukmini dengan Suniti oleh Kresna.
f. Relief Pemburu yang Tertipu
Di dinding sisi utara kolam berangka tahun dan di belakang arca penjaga relief ini menceritakan pertolongan dari sang kancil pada kura-kura yang tertangkap si pemburu.

4. Panti Semedi Balerejo

Kegiatan panitia pembangunan Vihara Samaggi Jaya Blitar seakan tidak ingin berhenti. Setelah berhasil mendirikan Vihara Samaggi Jaya yang megah, kini membangun sebuah kompleks tempat latihan meditasi di sebuah bukit pada ketinggian 550 m di atas permukaan laut. Kompleks seluas hampir satu hektar (10.000 m2) ini dinamakan Panti Semedi BALEREJO. Dipilih nama ini karena tempat latihan meditasi tersebut terletak di desa Balerejo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur ± 30 km dari kota Blitar.
Di dalam Panti Semedhi Balerejo terdapat beberapa gua buatan yang berfungsi sebagi tempat untuk bermeditasi. Panti Semedhi ini sangat luas dan kelihatan sangat megah dan indah. Pemandangan di tempat itu masih kelihatan asri karena terletak jauh dari keramaian kota sehingga sangat cocok untuk bermeditasi. Bangunan-bangunan seperti kuti yang berfungsi untuk tempat tinggal para Bhikkhu.
Pembangunan telah dimulai sejak 09 September 1990 bersamaan dengan pembangunan Vihara Samaggi Jaya, Blitar. Kini, Panti Semedi BALEREJO telah tampak wujudnya. Pembangunan yang didukung dananya oleh seluruh umat Buddha di Indonesia ini menambah jumlah keberadaan vihara megah Sangha Theravada Indonesia.
Pati Semedi BALEREJO dengan latar belakang gunung ”Putri Tidur” ini memiliki keunikan. Di sini dapat ditemukan Dhammasala terbuka, satu-satunya di Indonesia. Selain itu, terdapat pula ruang serbaguna, ruang-ruang meditasi sendiri ataupun bersama. Juga, beberapa kuti sebagai tempat tinggal para bhikkhu yang sedang melatih diri ataupun memberikan bimbingan meditasi.
Kiranya, sudah saatnya bagi kita untuk menyisihkan waktu agar dapat melatih diri, mengembangkan batin dalam meditasi. Ketenangan batin akan melengkapi kebutuhan badan yang selalu kita usahakan dari hari kehari. Untuk itulah, Patin Semedi BALEREJO dibangun.

PETA PANTI SEMEDI BALEREJO

5. Padepokan Dhammadipa Arama

Padepokan ini terlatak di Jln. Mojokerto No.44 Batu Malang. Padepokan Dhammadhipa Arama dalam muri sejarah ini mulai pada bulan Mei tahun 1971. Pada waktu itu Y.M. Bhante Win datang ke Malang beliau berbincang-bincang dengan tokoh umat Buddah di daerah itu termasuk Bapak Jamal Bakir yang sekarang sebagai Bhikkhu Khantidaro Mahathera, bagaimana cara untuk memiliki suatu Vihara di Malang yang tempatnya tidak ramai, mudah dijangkau, dan tidak terganggu kebisingan kota.
Pada waktu itu atas kemurahan hati YM. Somdetphra Nansamvara yang memberikan dana serta Rp 202.400 segera dicarikan tanah untuk lokasi Vihara yang akan dibangun, pada tanggal 5 Juli 1971 YM. Bhante Win, Bapak Jamal Bakir, Ibu Dharma Niyani Jamal Bakir datang ke tempat yang rencananya akan dibangun Vihara, mereka berbincang-bincang mengenai tanah yang sebelumnya sudah dirintis luas tanah 4.400 m. Harga tanah Rp 75 permeter.
Pada tanggal 15 Agustus 1971 diadakan upacara peletakan batu pertama Dharmasala dibangun dari bambu (tiang, dinding, reng, usuk) atap genteng lantai dari papan pohon randu. Pada tanggal 19 September 1971, pembangunan Dharmasala dan kuti untuk Bhikkhu telah selesai. Oleh karena bangunan terbuat dari bambu maka nama yang diberikan adalah Win Veluvana Arama. Ditanah sekeliling bangunan ini banyak ditanami pohon bambu. Rupang Buddha dengan altar yang ada di dalam Dharmasala saat itu merupakan sumbangan dari umat Thailand yang didanakan pada bulan September 1971. Pada tanggal 6-15 Desember 1972 diadakan Meditasi Vipassana pertama dipimpin oleh YM. Bhante Girirakkhito.
Pada tanggal 25 Februari 1973 saat malam hari sekitar pukul 03.00 Vihara didatangi oleh perampok. Perampok mengambil Buddha rupang yang ada di Dharmasala. Para umat prihatin dengan kejadian itu, sehingga mereka membacakan parita-parita, lima hari kemudian patung ini ditemukan di toko antik di Surabaya.
Akibat kejadian ini Vihara dapat dikenal banyak orang karena surat kabar memuat berita tersebut. Setelah kejadian itu nama Win Veluvana Arama diganti menjadi Dhammadipa Arama. Nama itu atas usulan dari Somdet Phra Nansamsara. Pada waktu itu juga datang 6 Bhikkhu dari Thailand. Dharma berarti ajaran Sang Buddha, Dipa berarti pelita, dari Vihara inilah kemudian Dharma bersinar, berkembang Arama berarti hutan. Jadi Dhammadipa Arama merupakan satu Vihara yang mempunyai taman-taman besar itu memberikan ladang penerang sehingga banyak orang yang datang memberikan dana atau penerangan, mereka datang untuk belajar sampai saat ini. Vihara ini menjadi pusat meditasi, jumlahnya sudah mencapai lebih dari ribuan orang, Yayasan Dhammadhipa Arama berdiri pada tanggal 6 Juli 1976.
Sejak tahun 1992 YM. Khantidaro menetapkan Padepokan Dhammadhipa Arama dicanangkan sebagai tempat pelatihan meditasi. Setiap saat yang mengikuti rata-rata mencapai 300-400 orang pertahun. Areal Vihara pun berkembang begitu luas, ada 8 kali pengembangan, saat ini luas tanah sekitar 2,5 hektar (lebih dari 2500 meter) terdapat bangunan 50 kamar untuk peserta meditasi laki-laki dan perempuan, Kuti Bhikkhu ada 9, serta bangunan-bangunan lain yaitu Uposathagara yang dibangun untuk pentahbisan para Bhikkhu, diresmikan pada tanggal 28 November1997, mulai tahun 1998 tiap-tiap dua tahun sekali diadakan upacara pentahbisan para bhikkhu.
Pada tanggal 5 Agustus 2001, diresmikan Musium Dharmadasa oleh Bapak Cornelis Wowor, mewakili Dirjen Hindu Buddha. Ide pembangunan musium ini berasal dari pemikir YM. Bhikkhu Khantidaro setelah melihat musium yang ada Guang San, Taiwan, pada saat itu peresmian yang dilakukan peletakan batu pertama bangunan Patirupaka Pagoda Shwedagon. Ide pembangunan Pagoda timbul tahun 2000, waktu itu YM. Bhikkhu Khantidaro pergi ke Myanmar untuk meditasi. Pada suatu kesempatan beliau berbincang-bincang dengan pejabat pemerintahan di Myanmar, beliau meminta izin membangun Pagoda di Indonesia, jika diizinkan beliau merasa sangat bahagia, pihak pemerintah Myanmar pun menyambut ide itu. Pagoda yang dipilih adalah Shwedagon Pagoda oleh karena itu di Padepokan Dhammadipa Arama disebut Patirupaka Shwedagon Pagoda yang berarti tiruan dari Shwedagon Pagoda. Masyarakat Myanmar pun sangat antusias membantu pembangunan Patirupaka Shwedagon. Pada tanggal 07 Desember 2003, Pagoda selesai dibangun. Padepokan Dhammadipa Arama, menerima penghargaan dari MURI (Musium Rekor Indonesia) tercatat Pagoda pertama di Indonesia.
Padepokan Dhammadipa Arama terus mengadakan pembangunan setelah mendapatkan sumbangan rupang Sang Buddha yang sangat besar dari Myanmar. Maka dibangunlah Dharmasala Lumbini. Rupang dibuat 200 tahun yang lalu dengan berat 2,5 ton dan terbuat dari batu marmer. Dharmasala Lumbini diresmikan pada tanggal 28 Oktober 2007 sekaligus merayakan Kathina. Acara peresmian dimulai pukul 10.00 dengan dibuka tarian khas batu sebagai bentuk penghormatan.
Melihat begitu lengkapnya sarana dan prasarana yang ada di Padepokan Dhammadipa Arama, maka sudah sepantasnya Padepokan Dhammadipa Arama disebut Vihara multi fungsi. Padepokan Dhammadipa Arama merupakan tempat kebaktian umat, musium tempat belajar, tempat wisata religius, tempat atau pusat pelatihan meditasi, serta sebagai pusat pendidikan.
Bangunan-bangunan tersebut yaitu Padepokan Dhammadipa Arama, Patirupaka Shwedagon Pagoda, Musium Dharmadasa, Perpustakaan. Patirupaka Shwedagon diresmikan pada hari Minggu tanggal 7 September 2003, oleh duta besar dari Myanmar yaitu HE. U. Kyam My, NE, menteri agama Drs. H. Said Abil Husin Munawar M.A, Bhikku Dharma Subha Thera dan Gubenur Jawa Timur yaitu H. Imam Utamo. Di Shwedagon ini terdapat altar yang berdasarkan hari kelahiran seseorang untuk melakukan puja bhakti. Di bagian bawah bangunan ini terdapat pula berbagai macam altar yang berasal dari negara-negara lain. Ditempat ini pula terdapat musium Dharmadasa yang diresmikan pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 2001 (Rawi 16 Savana 2545 BE) oleh Dirjen Bimas Hindu Buddha Departemen RI yaitu Drs. I. Wayan Suarjaya, Msi.
6. STAB Kertarajasa

Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa terletak di Jl. Raya Mojokerto 44, PO BOX. 39 Batu 65301 Jawa Timur. Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa memiliki fasilitas diantaranya:
a. Gedung milik sendiri,
b. Perpustakaan,
c. Laboratorium komputer dengan akses internet,
d. Gedung Aula yaitu gedung graha Kertarajasa,
e. Perangkat gamelan sarana pengembangan seni budaya.

Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa memiliki Visi, Misi dan Tujuan, yaitu:
a. Visi
Terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Buddhist yang berkualitas professional dan religious sesuai dengan Dharma untuk mengemban tugas mulia memajukan kehidupan bangsa Indonesia.

b. Misi
Mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian masyarakat) serta mengembangkan Buddha Dharma sebagai “Way of life” dan “Way of Thinking” bagi masyarakat Buddhist.
c. Tujuan
1. Berperan secara aktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
2. Menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) Buddhist yang terdidik untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam menunjang perkembangan agama Buddha,
3. Menampung lulusan SMU/SMK yng berminat menempuh pendidikan agama Buddha secara khusus,
4. Menyiapkan tenaga guru agama Buddha serta Dharmaduta yang handal dan professional.

PETA STAB KERTARAJASA



7. Stasiun Dhamma TV

Sejarah berdirinya Dhamma TV dilatarbelakangi penyebaran Buddha Dharma di Indonesia masih sangat terbatas. Jumlah bhikkhu, romo dan ramani yang belum memadai jumlah umat, kurangnya sarana.sarana pendukung sebagai layanan informasi tentang Dharma. Keterbatasan tersebut ternyata tidak menyurutkan semangat para bhikkhu, romo dan ramani untuk berjuang mengembangkan Buddha Dharma. Salah satu bhikku yang turut berjuang dalam pengembangan Buddha Dharma adalah Y.M Dhamma Vijjayo Maha Thera.
Kiprah beliau dalam mengembangkan Buddha Dharma salah satunya adalah mendirikan stasiun radio dan stasiun TV yang diberi nama stasiun Dhamma TV, yang didirikan di kota Malang. Tepat pada tanggal 15 Januari 2006 meskipun dengan peralatan sederhana dan sumberdaya manusia yang seadanya Dhamma TV resmi mengudara walaupun terbatas di kota Batu dan Malang.
Setelah pembangunan pemancar dan bangunan master control serta transmitter selesai, kantor, sekretariat dan studio Dhamma TV dipindahkan ke vihara Padma Graha di jalan Imam Bonjol atas no. 57 Batu. Untuk menunjang hasil siaran yang lebih baik dilakukan penambahan alat seperti pemancar, computer untuk video editing, kamera, mexer audio video. Pada tanggal 6 Januari 2008 kantor Dhamma TV dipindahkan dari vihara Padma Graha ke kantor baru yang di komplek ruko jalan Ciliwang 57 E Malang.
Dhamma TV menghadirkan beberapa program acara yang berkaitan dengan realita kehidupan di masyarakat. Siaran Dhamma TV telah memperoleh banyak perhatian pemirsa. Acara-acara yang telah disajikan Dhamma TV, antara lain:
a. Dhamma Talk
Mengedepankan berbagai makna dan kandungan falsafah hidup secara universal, menghapus problematika dan solusi dari segala masalah aspek kehidupan.
b. Program Talk Show
Merupakan diskusi yang membahas fenomena-fenomena masarakat dengan tujuan dapat memberikan setitik pencerahan bagi masyarakat.
c. Program khas, seperti: acara dami dihati.
d. Program hiburn: sineas dharma menajikan film-film yang menarik dan mempunyai makna falsafah kehidupan agar dapat diambil hikmahnya.
e. Program dialog intraktif, yang dilakukan secara langsung (live)
f. Program budhaya: jelajah religi
g. Program keagamaan: bingkai dharma menayangkan acara ritual keagamaan yang mengandung nilai-nilai sepiritual dan kebudayaan
h. Program sosial: Bodhicitta
Acara kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat yang membutuhkan uluran kasih terhadap sesama.

Melalui program-program diatas Dhamma TV tampil beda menjadi media edukasi, etika, moral, social, kebudayaan serta spiritual yang universal yang menyoroti realita kehidupan manusia.

8. Stupa Sumberawan

a. Letak Stupa Sumberawan
Stupa Sumberawan berada di Desa Sumberawan Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Posisi sebenarnya berada ± 6 km dari Kabupeten Malang arah barat laut kota Kecamatan Singosari. Daerah di sekitar Stupa Sumberawan merupakan hutan pinus di kaki Gunung Arjyuna sisi selatan. Letaknya ± 650 m di atas permukaan laut. Di sisi selatan Stupa Sumberawan terdapat telaga yang airnya jernih. Air sumber yang melimpah itu sekarang dimanfaatkan untuk air minum oleh Pemda Kabupaten Malang dan sebagian untuk mengairi sawah penduduk.
b. Nama Stupa Sumberawan
Nama Sumberawan yang diberikan kepada satu-satunya Stupa yang ada di daerah tersebut diduga berasal dari nama desanya, yaitu Sumberawan. Tetapi ada juga yang menganalisa lebih jauh, nama Sumberawan diduga berasal dari kata sumber dan Rawan (telaga). Karena di dekat stupa tersebut banyak didapat sumber air yang terkumpul kepada sumber yang paling besar dan membentuk Rawn (telaga). Penduduk setempat menyebutnya Candi Rawan (Candi Telaga).
c. Sejarah Penemuan Stupa Sumberawan
Siapa yang menemukan bangunan stupa tersebut untuk pertama kalinya sulit untuk diketahui. Akan tetapi yang jelas penemu pertama tentunya penduduk pribumi setempat yang kemudian melaporkan kepada pemerintahan Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1904 baru disebut-sebut oleh orang Eropa (Belanda). Pada tahun 1928 dan 1935 mendapat perhatian dan ditinjau untuk diadakan pembinaan kembalui. Demikianlah maka akhirnya diadakan penggalian, kemudian dilakukan perencanaan dan pembangunan kembali yang selesai tahun 1937. Pembinaan kembali itu dipimpin oleh seorang ahli purbakala dari jawatan purbakala Hindia Belanda yaitu Ir. Van Romondt.
d. Sejarah Stupa Sumberawan
Menurut cerita, bentuk stupa berasal dari India. Yaitu ada dua orang yang termasuk penganut-penganut pertama agama Buddha diberi “tanda mata” oleh Sang Buddha untuk dikenang dan dipuja berupa potongan kuku dan rambut. Disuruh menyimpan di dalam stupa. Waktu ditanya apakah stupa itu? Sang Buddha membuka pakaiannya, lalu dilipatnya pakaian itu sebagai alas, ditarusnya mangkoknya terbalik, dan diatasnya lagi didirikan tongkatnya. Itulah bentuk yang harus diberikan kepada bangunan stupa. Demikianlah, maka stupa itu berupa bangunan yang berbentuk kubah yang terdiri atas sebuah lapik segi empat, dan di atasnya diberi paying (tanda kehormatan/lambangkahyangan). Bentuk paying itu kadang terbuka dan kebanyakan tertutup.
Dalam perkembangan selanjutnya stupa itu mempunyai 4 (empat) fungsi, yaitu:
1. Sebagai penyimpanan tulang belulang atau abu jenazah dari Sang Buddha, dan nantinya para Arahat dan para Bhiksu. Stupa yang demikian disebut DHATUGARBHA (DAGOBA).
2. Sebagai penyimpan benda-benda suci yang berasal Dario diri atau pemilik Sang Buddha, Arahat atau Bhiksu. Benda-benda semacam disebut relik (misalnya: kuku, rambut, jubah, dan sebagainya).
3. Sebagai tanda peringatan di tempat-tempat terjadinya sesuatu peristiwa penting dalam hidup Sang Buddha.
4. Sebagai lambing suci agama Buddha pada umumnya, dan hal ini bagi penganut-penganut Buddha dianggap sebagai monument yang bertuah atau berkekuatan gaib. Oleh orang yang saleh stupa seperti itu sianggap sebagai benda guna memusatkan Samadhi.

Sedangkan dipandang dari bentuk teknisnya, stupa dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Stupa yang merupoakan bagian dari sesuatu bangunan, misalnya sebagai puncak. Hal ini kita dapati seperti pada Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Plaosan dan sebagainya.
2. Stupa yang terdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap, misalnya kita dapati pada Candi Dadi (Tulungagung), Muara Takus (Sumatra) dan Stupa Sumberawan.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok sebagai bangunan pengiring seperti terdapat di Candi Plaosan (halamanya) dan Candi Banyunibo (Selatan dataran Ratu Boko).

e. Uraian Bangunan Stupa Sumberawan
Stupa sumberawan dapat kita uraikan secara singkat, karena ia termasuk golongan bangunan yang bentuknya sederhana dan dengan demikian mudah dibuat iktisarnya, seperti berikut:
Di atas tingkat bawah (Batur) yang empat persegi terdapat kaki yang bentuknya empat persegi pula dengan penampilan pada tiap-tiap sisi. Di atas itu berdirilah stupa yang sebenarnya, yang terdiri atas sebuath lapik bujur sangkar, kaki segi delapan dengan bantalan seroja/teratai sebagai lambing kahyangan, dan tubuh yang berbentuk genta. Atasnya (puncaknya) tidak dipasang kembali karena menemui kesulitan pada waktu pemugaran tahun 1937. Diduga bahwa puncak stupa itu adalah sebuah “pucuk”. Bagaimana bentuk pucuk itu tidak diketahui sebab tidak terdapat sisa-sisa di sekitarnya yang berbentuk pucuk semacam paying tertutup.
Bangunan suci ini tidak memiliki hiasan atau ukiran. Tidak ada tangga naik atau barang sesuatu yang lain yang menunjukkan bahwa bangunan itu dapat dinaiki. Selanjutnya penyelidikan memberikan kepastian bahwa bidang berbentuk genta itu tidak memiliki rungan di dalamnya untuk meyimpan CARIRA (benda suci) maupun apapun juga. Stupa Sumberawan tidak dapat kita ketahui bentuk puncaknya. Apakah berbentuk paying tertutup atau berbentuk bulatan setengah bola.
f. Fungsi Stupa Sumberawan
Sesuai debngan penelitian dan penggalian waktu itu (tahun 1935-1937), tidak ditemukan benda-benda apapun di dalam bangunan stupanya maupun di bawah tanah. Dan memang di tubuh dtupa itu tidak didapatkan rongga atau ruangan di dalamnya, sehingga fungsinya tidak dapat dikatakan sebagai tempat penyimpanan tulang-belulang dan abu jenazah para Bhiksu atau tidak dapat disebut sebagai Datugarbha (Dagoba). Jika tidak dipakai sebagai penyimpanan relik dari Arahat maupun Bhiksu. Dengan demikian fungsi Stupa Sumberawan, jika kita berorientasi kepada 4 fungsi stupa, tinggal 2 kemungkinan, yaitu:
1. Sebagai tanda peringatan tempat terjadinya peristiwa penting yang berhubungan dengan Sang Buddha.
2. Sebagai lambing suci agama Buddha yang dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib.

Untuk kemungkinan yang ketiga tentunya tidak mungkin, sebab peristiwa yang menyangkut diri Sang Buddha tempatnya di India. Kemungkinan yang mendekati analisa positif adalah kemungkunan terakhir yaitu sebagai lambing suci agama Buddha yang dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib.
g. Kapan Stupa Sumberawan Didirikan
Tidak diketahui dengan pasti bangunan ini didirikan. Menurut para ahli diduga bangunan ini didirikan sekitar abad XIV M. bahkan ada yang menduga bahwa daerah ini dahulunya yang bernama KASURANGGANAN, yaitu daerah yang pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada tahun 1359, ketika ia pergi ke Singosari. Hal ini diberitakan dalam Kitab NEGARAKERTAGAMA karangan Empu Prapanca yang disebut pada pupuh 35 bait ke 4, yaitu seperti berikut:
“….sebabnya terburu-buru berangkat, setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di Balaikota Singasari sehabis menyekar di candi makam, nafsu kesukaan bermanja-manja mengisap sari pemandangan di Kedungbiru Kasurangganan dan Bureng”

Alternatif penamaan Kasurangganan yang diidentikkan dengan daerah Sumberawan sekarang karena daerah yang disebut di atas yaitu Kedungbiru dan Bureng masing-masing terletak di selatan daerah Sumberawan. Kedungbiru sekarang berubah menjadi Dukuh Mbiru, sedangkan Bureng diduga berada di sebelah utara desa Karangploso.

9. Pusat Informasi Majapahit

Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang merupakan satu-satunya Situs perkotaan di Indonesia yang dibangun didataran ujung penghabisan tiga jajaran gunung yaitu: gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro. Pada tanggal 24 April 1924 R.A.A. Cromodjojo Adinegoro salah seorang Bupati Mojokerto, bekerja sama dengan Ir. Hendry Maclaine Pont seorang arsitek Belanda mendirikan Oudheeidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) yaitu suatu perkumpulan yang bertujuan untuk meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. OVM menempati sebuah rumah di Situs Trowulan yang terletak di Jln. Raya Mojokerto (Jombang) km 13 untuk menyimpan Artefak-artefak yang diperoleh melalui penggalian, surve maupun penemuan secara tidak sengaja. Mengingat banyaknya Artefak yang layak untuk dipamerkan maka direncanakan untuk membangun sebuah Museum yang terealisasi pada tahun 1926 dan dikenal dengan nama Museum Trowulan.
Pada tahun 1924 Museum ditutup untuk umum karena Maclaine Pont ditawan oleh Jepang. Sejak itu Museum berpindah-pindah tangan dan akhirnya dikelolah oleh Balai Pelestarian Purbakala Jawa Timur. Tugas kantor tersebut tidak hanya melaksanakan perlindungan terhadap benda cagar budaya Majapahit saja, tetapi seluruh peninggalan kuno yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu koleksinya semakin bertambah banyak. Untuk mengatasi hal tersebut Museum dipindahkan ke tempat yang lebih luas berjarak kurang lebih 2 Km dari tempat semula, namun masih di Situs Trowulan. Museum baru tersebut sesuai dengan struktur organisasinya disebut sebagai Balai Penyelamatan Arca, namun masyarakat tetap mengenalnya sebagai Museum Trowulan. Pada tahun 1999 koleksi Prasaseti peninggalan R.A.A Kromodjojo Adinegoro dipindahkan dari Gedung Arca Mojokerto ke Museum Trowulan, sehingga koleksi Museum Trowulan semakin lengkap. Berdasarkan fungsinya, Museum Trowulan kemudian diberi nama sebagai Penyelamatan Arca Bp3 Jatim. Mengingat akan butuh informasi yang semakin meningkat dari masyarakat tentang Majapahit maka namanya diubah menjadi Pusat Informasi Majapahit (PIM). Walaupun terjadi perubahan pada prinsipnya secara signifikan, yaitu sebagai sejarah Museum dan Balai Penyelamat Beda Cagar Budaya di Jawa Timur. Setiap tahunnya bangunan ini semakin bertambah karena cagar budayanya semakin banyak.
Koleksi Museum yang terdapat di Pusat Informasi Majapahit didominasi oleh benda cagar budaya peninggalan Majapahit. Melalui peninggalan-peninggalan tersebut terdapat beberapa aspek budaya Majapahit dapat dikaji lebih lanjut, seperti di bidang pertanian, irigasi, arsitektur, perdagangan, perindustrian, agama, dan kesenian. Keseluruh koleksi tersebut ditata di gedung, pendopo maupun halaman Museum. Bahan koleksi Museum Trowulan dipamerkan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian: koleksi tanah liat, koleksi keramik, logam, batu.
a) Koleksi Tanah Liat
Koleksi Tanah Liat terdiri dari Koleksi Terakota Manusia, Alat-alat Produksi, Alat-alat Rumah Tangga, Arsitektur.
b) Koleksi Keramik
Koleksi keramik yang dimiliki oleh Pusat Informasi Majapahit berasal dari beberapa Negara asing seperti Cina, Thailand dan Vietnam. Keramik tesebut memiliki berbagai bentuk dan fungsi, seperti guci, teko, piring, mangkuk, sendok dan vas bunga.
c) Koleksi logam
Koleksi Benda Cagar Budaya berbahan logam yang dimiliki Pusat Informasi Majapahit dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok, seperti koleksi mata uang kuna, koleksi alat-alat upacara seperti bokor, pedupaan, lampu, cermin, guci, genta dan koleksi alat musik.
d) Koleksi Batu
Koleksi Benda Cagar Budaya yang berbahan batu berdasarkan jefnisnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: Koleksi Miniatur dan komponen candi, koleksi Arca, Koleksi Relief, Koleksi Prasasti. Koleksi Benda Cagar Budaya yang berbahan batu yang dimiliki oleh Pusat Informasi Majapahit juga terdapat alat-alat dan fosil binatang dari masa prasejarah.

10. Gapura Bajangratu

Gapura Bajang Ratu terletak di desa Temon, kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto. Dilihat dari bentuknya gapura ini merupakan bangunan pintu gerbang tipe “Paduraksa” yaitu gapura yang memiliki atap. Bahan utamanya adalah bata. Kecuali lantai tangga serta ambang pintu yang dibuat dari batu andesit. Denah bangunan berbentuk segi empat berukuran 11,5x10,5 m, tingginya 16,5 m dan lebar lorong pintu masuk 1,40 m. Secara vertical, gapura Bajang Ratu dapat dibagi tiga bagian yaitu kaki, tubuh dan atap.
Selain itu gapura mempunyai sayap dan pagar tembok di kedua sisinya. Pada kaki gapura terdapat hiasan panil yang menggambarkan cerita “Sri Tanjung”, di bagian atas tubuh terdapat ambang pintu yang di atasnya terdapat hiasan kala dengan hiasan sulur-suluran. Sedangkan bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat dengan puncak berbentuk persegi. Pada atap tersebut terdapat hiasan berupa: Kepala kala diapit singa, Relief Matahari, Naga berkaki, Kepala garuda dan Relief bermata satu atau monocle cyclop. Relief-relief ini mempunyai fungsi sebagai pelindung atau penolak marabahaya. Pada sayap kanan garuda terdapat dinding berbentuk panil sempit dihias dengan relief cerita Ramayana yang digambarkan dengan perkelahian raksasa melawan kera. Bingkai kanan kiri pintu diberi pahatan berupa binatang bertelinga panjang. Nama Bajangratu pertama disebut dalam Oudheikunding Verslag (OV) tahun 1915.
Menurut para ahli yang telah menemukan penelitian bangunan ini, gapura Bajangratu dihubungkan dengan wafatnya raja Jayanegara pada tahun 1328. Dalam kitab Pararaton disebutkan Jayanegara wafat pada tahun 1328 “Sira ta dhinarmeng kapopongan, bhisaka ring Crnggapura pratista ring Antawulan”. Menurut Crom Crngggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsari dalam Nagarakertagama. Sehingga disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) raja Jayanegara berada di Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura. Pratistanya (bangunan suci) berada di Antawulan atau Trowulan. Dengan demikian fungsi gapura Bajangratu diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya raja Jayanegara yang dalam Nagarakertagama disebut kembali ke dunia Wisnu 1328 saka. Dugaan ini didukung oleh adanya relief Sri Tanjung dan sayap garuda yang mempunyai arti sebagai lambang penglepasan. Masa pendirian gapura ini tidak diketahui dengan pasti, namun berrdasarkan relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang dan relief naga diperkirakan gapura Bajangratu berasal dari abad XII-XIV. Sejak didirikan, gapura Bajangratu ini belum pernah dipugar, kecuali usaha-usaha konsolidasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1915. Pada tahun 1989 gapura Bajangratu mulai dipugar dan selesai tahun 1992.

11. Candi Tikus

Candi Tikus terletak di Desa Temon, Kec. Trowulan, Kab. Mojokerto, Candi Tikus merupakan bangunan pertirtaan. Disitu terdapat minitur Candi di tengah bangunan yang melambangkan gunung Mahameru tempat para Dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air yang mengalir dari pancuran-pancuran atau jaladwara yang terdapat disepanjang kaki Candi. Air ini dianggap sebagai air suci Amrta sumber segala kehidupan.
Candi Tikus ditemukan tahun 1914 oleh seorang penduduk yang kemudian melaporkan penduduk kepada Bupati Mojokerto saat itu R.A.A. Kromodjojo Adinegoro. Penemuan tersebut berawal dari laporan penduduk bahwa daerah tersebut terjangkitnya wabah Tikus yang bersarang disebuah gundukan. Ketika gundukan tersebut dibongkar ternyata terdapat sebuah Candi yang kemudian Candi tersebut diberi nama Candi Tikus. Karena sejarah penemuan inilah hingga saat sekarang ini banyak petani baik disekitar daerah Mojokerto maupun luar kota yang sawahnya terserang hama tikus datang ketempat ini untuk memperoleh air Candi yang dipercaya dapat mengusir hama tikus.
Bahan bagunan Candi didominasi oleh batu bata, sedangkan batu andesit digunakan untuk pancuran. Dinding Candi Tikus dibuat teras untuk menahan tanah sekitarnya. Pada dinding bagian bawah serta batur Candi ini terdapat pancuran yang sejumlah 46 buah. Candi ini diduga dulunya digunakan sebagai tempat pemandian karena ditemukan ada kolam dan disampingnya terdapat pancuran. Seluruh pancuran tersebut dulunya mendapatkan pasokan air melalui saluran yang terdapat dibagian belakang Candi Induk, sementara saluran pembuangan terletak dilantai dasar. Pada bagian kaki Candi terdapat saluran air tertutup yang berfungsi sebagai pemasokkan air kepancuran sepanjang kaki Candi. Bagian luar kaki Candi terdapat menara Semu yang berjumlah lima buah. Diatas tubuh Candi terdapat empat buah menara terletak disetiap sudut. Menara yang paling besar berdiri ditengahnya, tetapi puncak menara itu telah hilang sehingga tidak diketahui dengan pasti bentuknya. Menara-menara ini melambangkan gunung Mahameru sebagai pusat makro kosmos.

12. Situs Kedaton

Situs kedaton terletak di Dusun Kedaton, Desa Sentono Rejo, Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Situs ini dapat ditempuh dari Balai Penyelamatan Arca melalui jalan Kecamatan kearah selatan pada jarak satu setengah meter dari Balai Penyelamatan Arca terdapat jalan desa yang mengarah ke barat sejauh 150 m. Lokasi Situs Kedaton berada ditanah dataran dengan ketinggian 41,11 m dipermukaan air laut. Situs ini yang terdiri dari beberapa bangunan :
a. Bangunan I: Merupakan sebuah bangunan bentuknya segi empat berukuran panjang 12,6 m, lebar 9,5 m, serta tinggi bagian yang tersisa 1,8 m dari permukaan tanah. Bagian sudut dan tengah sisi dinding luar terdapat bentuk pilaster, yang berfungsi sebagai Ornamen hiasan juga sebagai penguat dinding. Bangunan ini mempunyai arah barat dengan azimut 279 didepan bangunan ini terdapat sebuah sumur kuno yang terbuat dengan susunan bata yang berbentuk persegi empat. Sumur ini berfungsi untuk kebutuhan air minum maupun untuk kepentingan Ritual masyarakat tertentu yang percaya, sebelum bersamadhi disumur Upas, harus mensucikan diri dengan air yang berasal dari sumur kuno tersebut.
b. Bangunan II: Komlek bangunan yang belum diketahui dengan pasti arah hadapnya, namun bedasarkan bangunan I yang mengarah ke barat diperkirakan bangunan ini mempunyai pintu masuk dengan arah hadap yang sama. Penamaan sumur Upas diambil dari bangunan semacam lubang yang terdapat ditengah gugusan, oleh masyarakat dinamakan dengan sumur Upas. Dalam cerita masyarakat setempat sumur Upas ini merupakan suatu rahasia menuju ketempat yang aman dari Raja apabila diserang oleh musuh. Untuk menghalangi agar tidak semua orang berani memasukinya, maka jalan rahasia diberi nama sumur Upas. Struktur ini saling tumpang tindih yang menandakan bahwa bangunan ini pernah dihuni manusia dalam beberapa masa yang berlainan. Selain itu terdapat temuan-temuan berupa pecahan gerabah dan keramik Asing (Cina), disertai dengan Fragmen arca, diduga sebagai tempat pemukiman. Dari hasil penelitian ditemukan 4 buah kerangka manusia pada bangunan I dan sebuah di dekat sumur Upas. Dari penelitian kerangka tersebut berjenis kelamin Wanita, sedangkan yang di dekat sumur Upas berjenis kelamin Pria. Adapun temuan kerangka manusia yang berbeda konteks dengan temuan sekitar, menunjukkan situs ini mengalami fungsi yang berbeda dari sebelumnya.

13. Candi Brahu

Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Seperti bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Trowulan Candi Brahu terbuat dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapannya ke barat dengan azimuth 2270. ukuran bangunan: tinggi 25,7 meter, serta lebar 20,70 meter.
Struktur bangunan Candi terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Kaki Candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh serta bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki Candi diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17 meter. Dengan demikian struktur kaki yang tampak sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan selarasnya serta tangga disisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas. Bagian tubuh candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan belanda.
Denah candi Brahu berukuran 10 x 10,50 meter dan tinggi 9,6 meter. di dalamnya terdapat bilik berukuran 4 x 4 meter, namun kondisi lantainya telah rusak. Atap candi Brahu tingginya kurang lebih 6 meter. pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk Stupa. Berdasar gaya bangunan candi terseut bersifat Buddhis. Selain itu diperkirakan candi Brahu umurnya lebih tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di Situs trowulan. Dasar dugaan ini adalah Prasasti Alasanta yang ditemukan tidak jauh dari candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861 Saka atau 939 Masehi, di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu Waharu atau Warahu. Nama inilah yang diduga sebagai asal nama candi Brahu sekarang. Candi Brahu dipugar pada tahun Anggaran 1990/1991 s/d 1994/1995.

14. Mahavihara Majapahit

Mahavihara Majapahit terletak di Jln. Candi Brahu 1, Ds. Bejijong, Kec. Trowulan, Kab. Mojokerto. Mahavihara Majapahit terdapat banyak sekali rupang Buddha yang sedang berdiri yang terletak di teras samping kanan dan kiri memasuki Vihara tersebut. Disana juga terdapat Buddha rupang saat Parinirvana yang sangat besar sekali. Mahavihara ini juga terdapat banyak sekali ruang penginapan yang berfungsi untuk menginap para tamu-tamu yang berkunjung ke Vihara tersebut. Selain penginapan masih banyak lagi bangunan-bangunan seperti kamar mandi, dapur. Letak Mahavihara Majapahit tersebut sangat luas. Mahavihara Majapahit katanya adalah peninggalan dari kerajaan Majapahit dan merupakan Vihara yang paling besar dibandingkan dengan Vihara-vihara yang ada di Kec. Trowulan.
Mahavihara Majapahit merupakan Vihara yang fasilitas sangat memenuhi. Vihara ini terletak didesa yang sangat jauh dari keramaian kota sehingga para peserta Dharmayatra ketika berkunjung disana harus berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit. Para peserta Dharmayatra setiba disana langsung mandi Selama 30 menit. Setelah selesai mandi kemudian melaksanakan Puja Bakti yang dihadiri oleh Bhikkhu. Selesai puja bakti para peserta Dharmayatra makan malam di Vihara tersebut. Vihara majapahit merupakan suatu tempat dimana terdapat sebuah patung Buddha yang sangat besar dan panjang. Patung Buddha tersebut terletak di halaman terbuka. Kemungkinan besar itu sengaja dibuat diluar Vihara. Dharmasala terbuka ini dibuat sedemikian sehingga pada acara perayaan agama Buddha bisa dilaksanakan diluar. Buddha rupang tersebut sedang berbaring yang menceritakan bahwa Sang Buddha saat Parinirvana.




BAB III
PELAKSANAAN DHARMAYATRA

A. Pelaksanaan Upacara Ritual

1. Sebelum Memasuki Daerah Sakral/Tempat Suci, yaitu:
a. Siapkan fisik secara benar.
b. Siapkan sarana altar (sarana utama)
c. Siapkan buku catatan
2. Di Daerah Sakral/Tempat Suci
a. Sikap tenang, anjali, perhatian pada objek dengan perenungan Buddha, Dharma, dan Sangha.
b. Puja Bakti
1) Puja Bhakti di Vihara
- Puja Bhakti diawali dengan duduk bertumpu lutut, bersikap anjali menghadap altar
- Penyalaan lilin dan dupa
- Pembukaan (Namakara Patha)
- Tisarana
- Pancasila
- Ratana Sutta bait 3,4,5,6,7 dan14
- Meditasi selama 30 menit
- Pattidana
- Penutup (Terjemahan dari Namakara Patha).
• Jika dihadiri Bhikkhu (Tisarana Pancasila Aradhana, Meditasi oleh Bhikkhu, Dhammadesana Aradhana).
2) Puja Bhakti di Candi atau Stupa
- Puja Bhakti diawali dengan berdiri dan bersikap anjali menghadap Candi atau Stupa
- Penyalaan lilin dan dupa
- Pembukaan (Namakara Patha)
- Tisarana
- Pancasila
- Pradaksina 3 kali (membaca Buddhanussati, dhammanussati, Sanghanussati berulang-ulang dengan membawa dupa atau bunga)
- Meditasi selama 30 menit.
- Pattidana
- Penutup (Terjemahan dari Namakara Patha).



3) Sebelum Meninggalkan Daerah Sakral atau Tempat Suci, yaitu:
- Mengemasi perlengkapan altar dan sarana puja bhakti,
- Membersihkan sampah di tapak upacara ritual,
- Memeriksa barang bawaan

B. Hasil Pembelajaran Objek Dharmayatra

Setelah melaksanakan dharmayatra penulis dapat mengetahui tempat-tempat suci agama Buddha yang ada di indonesia. Tempat-tempat suci tersebut perlu mendapat perhatian khusus untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh umat Buddha. Tempat-tempat suci tersebut sampai sekarang ini masih kurang mendapatkan perhatian dari kita sebagai umat Buddha. Bahkan sampai sekarang ini umat Buddha tidak memberikan respon sama sekali terhadap penjagaan dan pelestarian terhadap tempat-tempat suci tersebut. Justru yang menjaga dan melestarikan tempat-tempat suci tersebut adalah umat non buddhis.

C. Hambatan Dharmayatra

1. Di beberapa tempat yang dikunjungi sebagai obyek Dharmayatra tidak terdapat nara sumber yang dapat memberikan gambaran mengenai seluk-beluk berdirinya bangunan tersebut.
2. Waktu yang tersedia sangat terbatas sehingga hasil yang diperoleh dalam kegiatan tersebut kurang maksimal.
3. Pembimbing yang kurang memberi pengarahan bagi para peserta sehingga peserta kurang begitu memahami tujuan dari obyek Dharmayatra tersebut.

D. Upaya Mengatasi Hambatan

1. Di beberapa tempat yang dikunjungi sebagai obyek Dharmayatra tersebut harus ditunjuk satu orang yang mengetahui tentang seluk-beluk berdirinya bangunan tersebut agar dapat memberikan gambaran yang jelas bagi para pengunjung yang datang ke sana.
2. Para pengunjung dapat membeli buku panduan yang telah tersedia disana, apabila tidak terdapat pemandu atau nara sumber.
3. Para perserta Dharmayatra harus dapat memanfaatkan waktu, jika waktu yang tersedia sangatlah terbatas, sehingga yang diperoleh maksimal.
4. peserta dapat mencari informasi melalui pemandu, jika pembimbing kurang memberikan pengarahan.








BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

Dharmayatra merupakan salah satu bentuk kegiatan ritual yang berkembang dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan agama Buddha, dimana tempat-tempat tersebut mempunyai makna sakral atau suci. Selain itu kegiatan Dharmayatra ini juga memberikan kesempatan bagi umat untuk menghormati serta menjaga kelestarian tempat-tempat suci tersebut serta menambah pengetahuan tentang sejarah tempat-tempat yang dikunjungi.
Obyek Dharmayatra yang berada di Jawa Timur, diantaranya candi-candi dan vihara-vihara besar di Jawa Timur, serta peninggalan bersejarah dalam agama Buddha dan merupakan sebuah bukti nyata bahwa agama Buddha telah berkembang sejak zaman dahulu, sehingga perlu dilestarikan dan kebudayaannya tetap terjaga.

B. Saran
Semoga Dharmayatra yang akan datang dapat berjalan lancar dan akan menjadi lebih baik sebagai mana yang diharapkan oleh penulis. Penulis berharap Dharmayatra yang akan datang sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan oleh panitia penyelenggara Dharmayatra. Panitia sebaiknya mematangkan dulu persiapan sehingga dalam pelaksanaan Dharmayatra tidak terjadi masalah- masalah yang dapat mengganggu pelaksanaan Dharmayatra. Penentuan dosen pembimbing Dharmayatra sebaiknya berdasarkan atas asas kebersamaan, agar terjadi timbal balik dan proses pembelajaran. Artinya, Pembimbing Dharmayatra hendaknya tidak semua berasal dari para dosen senior tapi juga dosen yunior dilibatkan. Kegiatan Dharmayatra ini sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan tidak hanya sekali ini saja, karena kegiatan seperti ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mahasiswa terutama tentang peninggalan-peninggalan sejarah yang berhubungan dengan agama Buddha.














Lampiran

ss
Vihara Samaggi Jaya Museum & Makam Bung Karno

Candi Panataran Panti Semedi Balerejo

Padepokan Dhammadipa Arama STAB Kertarajasa

Stasiun Dhamma TV Stupa Sumberawan

Pusat Informasi Majapahit Gapura Bajangratu

Candi Tikus Situs Kedaton

Candi Brahu Mahavihara Majapahit
DAFTAR PUSTAKA

Bhikkhu Pesala, 2002. Milinda Panha, Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna.

Diputhera Oka, 2004. Meditasi I, Jakarta: Vajra Dharma Nusantara.

Tim Penyusun Departemen Agama. Saddharma-Pundarika Sutra, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu dan Buddha.

Tim penyusun Departemen Agama, 1989. Maha Parinibbana Sutta, Jakarta: C.V. Lovina Indah.

Tim Penyusun Departemen Agama, 2006. Buku Pelajaran Agama Buddha SMP Kelas II, Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun Kusumajaya, Made I, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit, Trowulan: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur.

Wisnoewhhardono, Soeyono, 1905. Memperkenalkan Komplek Percandian Panataran, Mojokerto: KPN. Purbakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar