Minggu, 21 Februari 2010

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta Sang Buddha Pelindungku IV


Sang Buddha Pelindungku IV
1. Jaya Mangala Gãthã
(Syair tentang Kemenangan Sempurna)
Bãhum sahassa mabinimmita sãyudhantam
Girimekhalam udita ghora sasena mãram
Dãnãdi dhamma vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Mãrãtireka mabhiyujjhita sabbarattim
Gorampanãlavaka makkhamathaddha yakkham
Khanti sudhanta vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Nãlãgirim gajavaram atimatta bhutam
Dãvaggi cakka masaniva sudãrunantam
Mettambuseka vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhvatu te jayamangalãni
Ukkhitta khagga matihattha sudãrunantam
Dhãvantiyo janapathan gulimãla vantam
Uddhibhisankhatamano jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Katvãna ktthamudaram iva gabbhiniyã
Ciñcãya duttha vacanam janakãya majjhe
Santena somaviddhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Saccam vihãya matisaccaka vãdaketum
Vãdãbhiropitamanam atiandabhutam
Paññãpadipa jalito jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Nandopananda bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena Thera bhujagena damãpayanto
Iddhupadesa vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Duggãhaditthi bhujagena sudattha hattham
Brahmam visudhi jutimiddhi bakãbhidhãnam
Ñãnãgadena vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Etã'pi Buddha jayamangala atthagãthã
Yo vãcano dinadine sarate matandi
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
2
Hitvãna nekavividhãni cupaddavãni
Mokkham sukham adhigameyya maro sapañño
2. Menaklukkan Mara
(dengan Paramita)
Bãhum sahassa mabinimmita sãyudhantam
Girimekhalam udita ghora sasena mãram
Dãnãdi dhamma vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala,
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Di dalam perjuanganNya yang luar biasa untuk mencapai Penerangan Sempurna, Bodhisatva
Siddhartha yang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, dengan tekad
yang amat kuat, untuk tidak akan bangun dari tempat dudukNya sebelum memperoleh
Penerangan Sempurna dan mencapai Nibbana, datanglah Mara.
Mara adalah mahluk halus atau penggoda, yang bermaksud menghalang-halangi Bodhisatva
memperoleh Penerangan Sempurna. Mara muncul dengan disertai oleh bala tentaranya yang amat
besar, bermaksud menyerang Bodhisatva Siddhartha.
Balatentara Mara yang amat mengerikan ini mengelilingi Bodhisatva, dari depan sejauh dua
belas yojana 1), dari belakang sejauh dua belas yojana, dari kiri dan kanan selebar sembilan
yojana.
Mara sendiri membawa seribu senjata yang amat berbahaya dan duduk menunggangi Gajah
Girimekhala, yang amat besar dengan tinggi seratus lima puluh yojana. Diikuti dengan bala
tentaranya yang berwajah amat menyeramkan, mereka semuanya membawa senjata dengan
meraung menakutkan, siap menyerang Bodhisatva Siddhartha.
Pada saat Mara mendatangi Bodhisatva dengan bala tentara yang begitu besar, maka para dewa,
seperti Maha Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan para dewa lainnya, menyingkir dari tempat
itu. Bodhisatva menghadapi sendiri Mara beserta bala tentaranya dengan berlindung kepada
sepuluh Paramita yang telah sejak lama dilatihnya.
Sepuluh Paramita itu adalah :
1. Dana Paramita (Kesempurnaan Kerelaan Hati)
2. Sila Paramita (Kesempurnaan Kemoralan)
3. Nekkhama Paramita (Kesempurnaan Pelepasan Keduniawian)
4. Panna Paramita (Kesempurnaan Kebijaksanaan)
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
3
5. Viriya Paramita (Kesempurnaan Semangat)
6. Khanti Paramita (Kesempurnaan Kesabaran)
7. Sacca Paramita (Kesempurnaan Kebenaran)
8. Adhitthana Paramita (Kesempurnaan Tekad)
9. Metta Paramita (Kesempurnaan Cinta Kasih)
10. Upekkha Paramita (Kesempurnaan Keseimbangan Batin)
Dengan berlindung kepada sepuluh Paramita inilah, maka semua usaha Mara beserta bala
tentaranya untuk menakut-nakuti Bodhisatva, dengan hujan besar yang disertai angin kencang
dan halilintar yang menggelegar terus-menerus, juga diikuti dengan pemandangan-pemandangan
lain yang amat mengerikan ternyata gagal semua.
Akhirnya Mara dengan penuh kemarahan menyambit Bodhisatva dengan senjatanya yang
terakhir yaitu Cakkavudha 2). Tetapi senjata ini berubah menjadi payung yang amat indah, yang
dengan tenang bergantung dan memayungi Bodhisatva.
Bumi telah menjadi saksi, bahwa Bodhisatva Siddhartha telah lulus dari semua kesulitan dan
layak untuk menjadi seoarang Buddha.
Sang Bodhisatva berkata :
"Dengan melihat bala tentara pada semua sisi berbaris dengan Mara yang mengatur di atas Gajah
Girimekhala. Aku maju ke depan untuk berperang, Mara tidak akan dapat mendorongKu dari
posisiKu. Bala tentaramu dengan dunia beserta dewa-dewa tak terkalahkan. Dengan
KebijaksanaanKu, Aku terus menghancurkan mereka, bagaikan Aku menghancurkan mangkok
yang belum dibakar.
Dengan mengawasi pikiranKu, dan dengan kesadaran yang kuat, Aku akan mengembara dari
negara ke negara, sambil melatih banyak murid.
Dengan rajin dan bersungguh-sungguh, dalam mempraktekkan AjaranKu, mereka tidak akan
memperdulikanmu dan akan pergi ke tempat yang tidak ada lagi penderitaan."
Gajah Girimekhala lalu berlutut di hadapan Bodhisatva dan Mara menghilang, lari tunggang
langgang bersama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir ketika Mara datang
menyerang, datang kembali menghampiri Bodhisatva. Mereka semua amat bahgia dengan
keberhasilan Bodhisatva Siddhartha menaklukkan Mara.
Keterangan :
1. Yojana : Ukuran panjang yang digunakan di India, 1 yojana kurang lebih 7 mil.
2. Cakkavudha : Senjata Mara yang amat sakti.
3. Menaklukkan Yakkha1 Alavaka
(dengan Kesabaran / Khanti)
Mãrãtireka mabhiyujjhita sabbarattim
Gorampanãlavaka makkhamathaddha yakkham
Khanti sudhanta vidhinã jitavã munindo
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
4
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Lebih dari Mara yang membuat onar sepanjang malam
Adalah Yakkha Alavaka yang menakutkan, bengis dan congkak
Raja para Bijaksana menaklukkannya, menjinakkan dengan kesabaran
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Sudah menjadi kebiasaan Raja Alava, ketika sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi
peperangan yang melelahkan, ia selalu menghibur diri dengan pergi berburu ke hutan selama
tujuh hari tanpa henti. Pada saat itu, ketika sedang mengepung binatang buruannya di sebuah
hutan, raja memerintahkan kepada para pengawalnya, untuk menjaga agar tidak seekor binatang
pun yang dapat meloloskan diri. Namun seekor rusa dapat menerobos penghalang yang berada di
dekat raja. Raja mengejar rusa itu seorang diri, sesudah mengejar rusa itu cukup jauh, akhirnya ia
dapat membunuh rusa itu. Ia memang tidak membutuhkan daging rusa itu tetapi untuk
menunjukkan kehebatannya di hadapan para pengawalnya, ia memotong rusa itu menjadi dua
bagian. Lalu ia mengikatkannya pada sepotong kayu. Raja lalu berjalan kembali ke tempat ia
telah meninggalkan para pengawalnya.
Dalam perjalanan kembali ke tempat para pengawal yang menunggunya, raja tiba di bawah
sebuah pohon Banyan2, di perempatan sebuah jalan. Karena ia amat lelah, maka ia berhenti
sejenak untuk beristirahat di bawah pohon tersebut. Pohon Banyan ini adalah tempat kediaman
Yakkha Alavaka (raksasa) yang mempunyai kebiasaan untuk membunuh orang-orang yang
mendekati pohon tersebut.
Yakkha Alavaka menangkap raja yang sedang berteduh di bawah pohon itu. Raja amat ketakutan
dan berjanji apabila Yakkha Alavaka tidak membunuh dan melepaskannya, maka ia akan
mempersembahkan korban sebagai pengganti dirinya, seorang manusia dan sepiring nasi setiap
hari.
Tetapi Yakkha Alavaka menjawab :
"Kalau kamu kembali ke istana, kamu pasti akan melupakan janjimu ini. Saya hanya dapat
menangkap orang-orang yang mendekati pohon ini, oleh karena itu saya tidak akan
melepaskanmu."
Raja berkata dengan amat ketakutan, bahwa apabila suatu hari ia ingkar janji, Yakkha Alavaka
dapat mendatangi istana untuk mengambil korbannya. Setalah menerima janji dari raja ini,
Yakkha Alavaka lalu melepaskan raja untuk kembali pulang ke istana.
Setibanya di istana, raja memanggil walikota dan menceritakan apa yang telah terjadi. Walikota
bertanya kepada raja; apakah ketika berjanji kepada Yakkha Alavaka, raja menyebutkan kapan
berakhirnya persembahan korban itu. Raja mengatakan, ia tidak menyebutkannya. Walikota
menyesali karena raja telah melakukan suatu kesalahan besar, namun ia berjanji untuk mengatasi
bencana ini, tanpa menysahkan raja.
Kemudian walikota pergi ke penjara, dan berkata bahwa narapidana yang telah dijatuhi hukuman
mati karena membunuh, akan dibebaskan apbila mereka membawa sepiring nasi dan
mempersembahkannya di bawah pohon Banyan. Para pembunuh menyambut gembira usul ini,
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
5
tetapi ketika mereka mendekati pohon Banyan tersebut, mereka ditangkap dan dibunuh oleh
Yakkha Alavaka. Setlah narapidana sudah habis, perintah ini dialihkan kepada para pencuri dan
merekapun dibunuh oleh Yakkha Alavaka, sehingga penjara akhirnya kosong.
Lalu perintah ini diteruskan kepada orang yang tidak bersalah, yang dituduh melakukan
kesalahan yang tidak mereka lalukan. Karena cara ini akhinya tidak berhasil, perintah ini lalu
dialihkan kepada orang-orang yang berusia lanjut. Orang-orang tua ini diambil dari rumah lalu
dibawa ke pohon Banyan tersebut. Raja lalu memberitahukan kepada walikota bahwa rakyat
mengeluh karena kakek nenek mereka diambil dari rumah mereka. Raja lalu memerintahkan cara
lain untuk memenuhi janjinya kepada Yakkha Alvaka. Walikota lalu berkata apabila ia tidak
diijinkan untuk mengorbankan orang-orang berusia lanjut, ia harus mengorbankan bayi-bayi.
Ketika penduduk mengetahui hal ini, sebagian dari mereka terutama ibu-ibu yang mempunyai
bayi ataupun yang sedang hamil pindah ke negara lain.
Kejadian ini berlangsung selama dua belas tahun lamanya. Sehingga tidak ada lagi anak kecil
yang tersisa, kecuali putera raja sendiri. Karena tidak ada jalan lain, maka raja dengan terpaksa
merelakan puteranya sendiri untuk dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka. Ratu dan selir-selir
raja menangis tersedu-sedu, ketika raja memerintahkan agar membawa puteranya untuk
dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka.
Di pagi hari yang sama, Sang Buddha ketika itu sedang bersemayam di Vihara Jetavana. Beliau
melihat dengan Mat BuddhaNya, bahwa Pangeran Alava mempunayi karma baik, ia dapat
mencapai Tingkat Kesucian Anagami3. Demikian pula Yakkha Alavaka, ia masih mempunyai
karma baik karena ia dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna4. Kemudian Sang Buddha
membawa mangkuk pindapatta dan meninggalkan Vihata Jetavana menuju ke pintu kediaman
Yakkha Alavaka.
Penjaga pintu memperingatkan Sang Buddha, untuk jangan mendekat karena berbahaya.
Majikannya sangat kejam, bahkan kepada orang tuanya sendiri dia tidak pernah menaruh hormat.
Sang Buddha berkata, bahwa tidak akan terjadi apapun terhadap diriNya, asalkan Beliau
diijinkan untuk menetap semalam di tempat itu. Penjaga pintu kemudian mengatakan bahwa
majikannya akan mencabut jantung siapapun yang datang mendekat dan akan mengoyak tubuh
korbannya menjadi dua bagian. Sang Buddha tetap mendesak untuk tinggal di sana satu malam.
Akhirnya penjaga itu berkata ia akan meminta ijin dahulu kepada majikannya di Hutan Himala.
Setelah penjaga itu pergi, Sang Buddha lalu memasuki tempat tinggal Yakkha Alavaka dan
duduk di singgasana, tempat yang biasa diduduki oleh Yakkha Alavaka. Para selir dari istana
datang dan memberi hormatnya kepada Sang Buddha. Sang Guru lalu membabarkan Dhamma
kepada mereka, mengajarkan untuk mengasihi semua mahluk dan tidak menyakiti siapapun.
Setelah mendengarkan Dhamma menreka mengucapkan "Sadhu".
Ketika gandrabbha atau pengawal memberitahukan kepada Yakkha Alavaka bahwa Sang Buddha
sedang berada di tempat kediamannya, ia sangat marah dan berkata dengan suara keras; bahwa
Bhikkhu Gotama akan sangat menderita karena telah memasuki tempat tinggalnya.
Ketika itu para Yakkha yaitu Satagira dan Hemavata bersama para pengikutnya sedang dalam
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
6
perjalanan menuju ke suatu pertemuan. Para Yakkha ketika terbang di angkasa harus
menghindari jalur yang biasa dilewati para Dewa. Tempat tinggal Yakkha Alavaka dikelilingi
pagar besi dan di atasnya dilindungi jala emas. Kedua Yakkha tersebut harus melintasi tempat ini
dari dekat, dan karena para Yakkha tidak diperkenankan untuk mendekati Sang Buddha (kecuali
untuk memberi penghormatan kepada Beliau), mereka tertangkap dan ketika ingin mencari
penyebabnya, mereka menemukan Sang Guru Agung sedang duduk di tahta Yakkha Alavaka,
keduanya lalu menghampiri dan menghormati Beliau.
Setelah itu mereka pergi ke Hutan Himalaya. Pada saat itu, mereka bertemu dengan Yakkha
Alavaka dan memberitahukan bahwa suatu kejadian yang menguntungkan telah terjadi padanya.
Karena Sang Buddha sedanga berada di tempat kediamannya, dan dia harus pergi untuk
menyambut Beliau. Mendengar hal ini, Yakkha Alavaka menjadi gelisah dan bertanya :
"Siapakah Sang Buddha ini yang telah berani memasuki tempat tinggalku?"
Kedua Yakkha menjawab :
"Apakah kamu tidak mengenal Sang Buddha, Penguasa ke Tiga Alam5?"
Yakkha Alavaka berkata bahwa siapapun Beliau, ia akan mengusirnya dari tempat kediamannya.
Kemudian kedua temannya itu berkata :
"Yakkha Alavaka, kamu hanyalah bagaikan seekor anak kerbau yang baru lahir di dekat seekor
kerbau dewasa. Bagaikan gajah kecil di dekat raja pemimpin suku. Bagaikan seekor serigala tua
di dekat seekor singa yang perkasa. Apa yang dapat kamu perbuat?"
Yakkha Alavaka berdiri dari tempat duduknya dengan penuh kemarahan, ia lalu menaruh
kakinya di puncak Gunung Ratgal, ia tampak seperti kobaran api dan berkata :
"Sekarang kita lihat, siapakan yang lebih kuat."
Yakkha Alavaka dengan penuh kemarahan menendang Gunung Kailasa, yang menimbulkan
percikan api seperti besi panas yang dipukul dengan palu. Sekali lagi ia berteriak dengan
kerasnya : "Saya adalah Yakkha Alavaka .........!"
Dan suaranya menggema ke seluruh Jambudwipa (India).
Tanpa menunda lagi, Yakkha Alavaka pergi ke tempat kediamannya dan berusaha keras untuk
mengusir Sang Buddha. Ia menciptakan badai hebat yang didatangkan dari empat penjuru, yang
dapat menumbangkan pohon dan bukit karang berukuran besar. Tetapi dengan kekuatan cinta
kasih Sang Buddha, semua itu tidak dapat melukai Beliau. Setelah itu terjadi hujan lebat, hujan
senjata, hujan pasir, arang, abu dan kegelapan. Namun tidak ada satupun yang dapat melukai
Sang Buddha. Kemudian Yakkha Alavaka mengubah wujudnya menjadi mahluk yang sangat
menyeramkan, namun Sang Buddha tidak menghentikannya dan membiarkan Yakkha Alavaka
melakukannya sepanjang malam, sehingga ia menjadi amat lelah.
Kemudian ia melemparkan senjatanya yang amat sakti, namun tidak berhasil juga. Ketika itu
para Dewa mulai berkumpul untuk menyaksikan pertandingan ini. Yakkha Alavaka sangat heran
menyaksikan senjata andalannya tidak berdaya, dan mencari penyebabnya. Ia menemukan bahwa
semua itu adalah karena cinta kasih dan kasih sayang Sang Buddha yang mat besar. Cinta kasih
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
7
hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih, bukan dengan kemarahan.
Kemudian Yakkha Alavaka meminta dengan lemah lembut kepada Sang Buddha untuk
meninggalkan tempat kediamannya dan Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa
kemarahannya telah ditaklukkan dengan kelembutan. Beliau berdiri dan meninggalkan tempat
tersebut. Melihat hal ini, Yakkha Alavaka berpikir :
"Saya telah menentang Pertapa ini sepanjang malam dengan tanpa membawa hasil, dan sekarang
hanya dengan satu kata Beliau meninggalkan tempat ini."
Melihat hal ini hatinya menjadi lembut. Namun demikian ia berpikir, akan lebih baik lagi apabila
ia mengetahui apakah Sang Buddha pergi karena kemarahan atau ketidakpatuhan, ia lalu
memanggil Beliau :
"Yang Mulia, silakan masuk," kata Yakkha Alavaka. Sang Buddha lalu masuk menghampirinya.
Tiga kali hal tersebut diulangi, namun ketika Yakkha Alavaka berkata untuk yang keempat
kalinya, supaya Sang Buddha meninggalkan kediamannya, Sang Buddha menolak dan
menanyakan apa yang dapat Beliau lakukan untuknya.
"Baiklah Yang Mulia, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan," kata Yakkha Alavaka.
Sudah menjadi kebiasaan Yakkha Alavaka untuk menangkap para pertapa dan bhikkhu yang
datang ke tempat kediamannya dan bertanya kepada mereka, jadi ia berpikir ia akan melakukan
hal yang sama terhadap Sang Buddha.
Lalu ia berkata :
"Apabila Anda tidak mau menjawab pertanyaan saya, saya akan mengacaukan pikiran Anda, atau
membelah jantung Anda, atau memegang kedua kaki dan melemparkan Anda ke seberang
Sungai Gangga."
Sang Buddha menjawab :
"Tidak saudara, Saya melihat tidak ada satupun mahluk di dunia ini maupun di alam dewa, di
alam Brahma, para pertapa, brahmana, para dewa dan manusia yang dapat mengacaukan pikiran
Saya, membelah jantung ataupun memegang ke dua kaki dan melemparkan Saya ke seberang
Sungai Gangga. Tetapi saudara, tanyakanlah yang ingin kamu ketahui."
Yakkha Alavaka kemudian menanyakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
"Apakah milik manusia yang paling berharga?
Praktek apakah yang membawa kebahagiaan?
Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Bagaimana cara yang terbaik dalam menjalani kehidupan ini?"
Sang Buddha menjawab:
"Keyakinan adalah milik manusia yang paling berharga.
Dhamma yang dipraktekkan dengan benar akan menghasilkan kebahagiaan.
Kebenaran adalah yang termanis dari semua rasa.
Kehidupan yang dijalani dengan pengertian adalah yang terbaik."
Kemudian Yakkha Alavaka bertanya lagi :
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
8
"Bagaimanakah seseorang menyeberangi arus?
Bagaimanakah seseorang menyeberangi laut?
Bagaimanakah seseorang mengatasi penderitaan?
Bagaimanakah seseorang disucikan?"
Yang Maha Sempurna menjawab :
"Dengan keyakinan seseorang menyeberangi arus.
Dengan perhatian benar seseorang menyeberangi laut.
Dengan usaha seseorang mengatasi penderitaan.
Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan.
Yakkha Alavaka bertanya kembali :
"Bagaimanakah kebijaksanaan diperoleh?
Bagaimanakah kekayaan didapatkan?
Bagaimanakah ketenaran diperoleh?
Bagaiamanakah mempererat persahabatan?
Ketika meninggalkan dunia ini menuju ke dunia lain, bagaimana agar orang tidak bersedih?"
Sang Guru Agung menjawab :
"Orang yang memiliki keyakinan, perhatian dan pandai memperoleh kebijaksanaan dengan
mendengarkan Dhamma dari Para Suci, Yang membimbing ke Nibbana.
Dia yang melaksanakan apa yang pantas dilaksanakan, tidak tergoyahkan dan giat berusaha,
memperoleh kekayaan.
Dengan kebenaran seseorang memperoleh ketenaran.
Kedermawanan mempererat persahabatan.
Perumah tangga setia yang memiliki keempat kebajikan ini : kejujuran, moral yang baik,
semangat dan kedermawanan, tidak akan menderita setelah meninggal dunia.
Tanyakanlah kepada para pertapa dan brahmana yang lain, apakah ada yang lebih hebat dari
pada kejujuran, pengendalian diri, kedermawanan dan kesabaran."
Setelah mengerti dengan baik maksud dari sabda Sang Buddha, Yakkha Alavaka berkata :
"Yang Mulia, bagaimana saya dapat bertanya kepada para pertapa dan brahmana yang lain? Hari
ini saya telah mengetahui rahasia dari kebahagiaan saya di masa yang akan datang. Untuk
kebaikan saya sendiri, Sang Tathagata telah datang ke Avali. Hari ini telah saya ketahui di mana
timbunan jasa yang menghasilkan buah yang berlimpah. Dari desa ke desa, dari kota ke kota,
saya akan mengembara memberikan penghormatan kepada yang Maha Sempurna dan kepada
Dhamma Yang Mulia."
Pada saat Yakkha Alavaka mengucapkan hal ini, Pangeran Alava sedang diantarkan ke tempat
kediamannya. Ketika para pengawal mendengarkan kata "Sadhu", mereka mengetahui bahwa
kata ini tidak pernah diucapkan kecuali di hadapan Sang Buddha, oleh karena itu mereka
mendekat tanpa rasa takut. Ketika memasuki tempat kediaman Yakkha Alavaka, mereka melihat
Yakkha Alavaka sedang bernamaskara, menghormat kepada Sang Buddha. Para pengawal
mengatakan bahwa hari ini mereka datang untuk membawa Pangeran Alava yang akan
dipersembahkan sebagai korban kepada Yakkha Alavaka, ia dapat memakan dagingnya dan
meminum darahnya atau melakukan apa saja yang diinginkannya. Yakkha Alavaka merasa amat
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
9
malu mendengar pernyataan ini, ia lalu mempersembahkan Pangeran kepada Sang Buddha.
Sang Guru Agung memberkati Pangeran Alava dan menyerahkannya kembali kepada para
pengawal yang menyambutnya dengan sukacita. Sejak saat itu Pangeran Alava diberi nama
Hatthalavaka.
Penduduk desa mat ketakutan ketika melihat Pangeran Alava dibawa pulang kembali ke istana.
Ketika mereka mendengar apa yang telah terjadi, mereka serentak berseru :
"Sadhu, Sadhu, Sadhu."
Kemudian Sang Buddha meninggalkan tempat kediaman Yakkha Alavaka, pergi ke desa untuk
berpindapatta. Setelah Sang Buddha selesai bersantap, Beliau duduk di bawah pohon. Raja dan
para penduduk berduyun-duyun menemui dan memberikan hormatnya dengan bernamaskara.
Sang Guru Agung menjelaskan kepada mereka tentang Alava Sutta, yang menyebabkan ribuan di
antara mereka mencapai Tingkat Kesucian.
Ketika Pangeran Alava dewasa, ayahnya memberitahukan bahwa ia diselamatkan dari kematian
oleh Sang Buddha, maka ia harus pergi menemui, memberikan hormat dan melayani Beliau.
Pangeran melakukan apa yang dikatakan oleh ayahnya dan bersama dengan lima ratus orang
pengikutnya mencapai tingkat kesucian.
Keterangan :
1. Yakkha : Raksasa
2. Pohon Banyan : Sejenis pohon beringin
3. Anagami : Orang suci tingkat ketiga yang tidak akan terlahir kembali.
4. Sotapanna : Prang suci tingkat pertama yang akan terlahir kembali tidak lebih dari tujuh
kali.
5. Tiga Alam :
1. Alam Bahagia atau Alam Surga
2. Alam Manusia
3. Alam Menderita
4. Menaklukkan Gajah Nalagiri
(dengan Cinta Kasih /Metta)
Nãlãgirim gajavaram atimatta bhutam
Dãvaggi cakka masaniva sudãrunantam
Mettambuseka vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhvatu te jayamangalãni
Nalagiri gajah mulia menjadi sangat gila
Sangat kejam bagaikan hutan terbakar, bagai senjata roda atau halilintar
Raja para Bijaksana menaklukkannya dengan kemampuan pikiran sakti yang mengagumkan
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
10
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Sang Buddha seperti biasa sedang berjalan ke suatu daerah untuk membabarkan Dhamma kepada
umatNya. Beliau diiringi oleh murid-muridNya, yang penuh cinta kasih dan pengabdian yang
besar kepada Sang Buddha, Sang Guru Agung.
Melihat Sang Buddha yang dicintai oleh murid-muridNya, menyebabkan Devadatta berpikir :
"Adalah suatu kenyataan, bahwa tidak ada satu mahlukpun yang dengan melihat Kesempurnaan
Manusia Gotama mampu dan berani untuk menyentuhNya. Tetapi raja gajah Nalagiri adalah
binatang yang amat galak dan liar, ia tidak mengetahui kesucian Buddha, Dhamma serta Sangha.
Ia akan saya lepaskan untuk menghancurkan Bhikkhu Gotama."
Kemudian Devadatta pergi menemui Raja Ajatasattu dan membicarakan masalah ini. Raja
terpengaruh oleh penjelasannya dan memanggil penjaga gajah, lalu memberi perintah :
"Penjaga, besok kamu harus memberi minuman keras kepada Nalagiri. Dan lepaskanlah Nalagiri
di jalan raya saat Bhikkhu Gotama sedang berjalan."
Devadatta bertanya kepada penjaga itu berapa banyak air yang biasa diberikan kepada gajah itu,
penjaga itu menjawab :
"Delapan guci."
Devadatta lalu berkata :
"Besok, berikan kepada Nalagiri enam belas guci minuman keras dan lepaskan dia ke arah jalan
raya yang akan dilalui oleh Bhikkhu Gotama."
"Baiklah," jawab penjaga itu.
Raja lalu menabuh tambur di seluruh kota dan mengumumkan :
"Besok gajah Nalagiri akan menjadi mabuk karena minum minuman keras dan akan dilepas ke
dalam kota. Penduduk di kota ini dapat melakukan semua pekerjaannya hanya pada pagi hari,
sesudah itu tidak boleh ada satu orangpun yang berada di jalan raya."
Devadatta lalu turun dari istana dan mendatangi kandang gajah Nalagiri, ia mendekati penjaga
gajah itu dan berkata :
"Saya katakan kepadamu, kita mampu untuk menghancurkan seseorang dari posisinya yang
tinggi ke posisi yang rendah. Dan menaikkan posisi seseorang yang rendah menjadi posisi yang
tinggi. Kalau kamu menginginkan kehormatan, besok pagi-pagi sekali, berikan Nalagiri enam
belas guci minuman keras minuman keras dan ketika Bhikkhu Gotama melewati jalan itu,
lukailah gajah itu dengan tongkat berduri. Karena gajah yang kesakitan itu akan marah, ia akan
menerobos kandangnya dan berlari keluar, arahkanlah ia ke jalan raya di mana Bhikkhu Gotama
sedang berjalan. Maka gajah itu akan menghancurkanNya."
Keduanya setuju dengan rencana seperti itu. Berita ini bergema ke seluruh kota. Pengikut Sang
Buddha mendengar berita ini amat khawatir, lalu mendatangi Vihara dan meminta Sang Buddha
untuk tidak masuk ke kota esok hari, karena ada bahaya besar yang menghadang Beliau. Mereka
berjanji akan membawakan semua kebutuhan yang diperlukan oleh Sang Guru beserta muridmuridNya.
Tatapi Sang Buddha menyatakan tetap akan menjalankan tugasNya seperti biasa. Para
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
11
pengikutNya melihat bahwa mereka tidak akan merubah rencana Sang Guru Agung akhirnya
mereka meninggalkan Vihara dengan perasaan amat khawatir.
Setelah mereka pergi, Sang Buddha merenungkan semua keluargaNya yang sudah mengerti akan
Kebenaran. Beliau juga melihat apabila Nalagiri berhasil ditaklukkanNya, maka delapan puluh
ribu mahluk akan mendapatkan penegrtian yang jelas tentang Dhamma Yang Mulia.
Keesokan paginya, Beliau memanggil Ananda, dan berkata untuk memberitahukan kepada para
bhikkhu di delapan belas vihara yang berada di sekitar Rajagaha untuk menyertaiNya masuk ke
kota. Bhikkhu Ananda melaksanakan apa yang diminta oleh Sang Guru, dan semua bhikkhu
berkumpul di Vihara Veluvana.
Sang Buddha dengan disertai oleh semua murid-muridNya, berjalan memasuki Rajagaha.
Penjaga gajah itu bekerja sesuai dengan instruksi Devadatta dan banyak orang berkerumun di
sekitar jalan raya. Para pengikut Sang Buddha berpikir :
"Hari ini mungkin akan terjadi pertempuran antara Sang Guru Agung dan gajah liar itu. Kami
akan menyaksikan kekalahan gajah Nalagiri dari Sang Buddha yang tiada bandingannya."
Penduduk lalu menaiki atap-atap rumah, gudang-gudang yang ada di sekitar jalan raya itu.
Tetapi ada pula pertapa lain yang berpikir :
"Nalagiri adalah gajah yang amat galak, binatang liar dan tidak mengetahui kebaikan dan cinta
kasih yang besar dari seorang Buddha. Hari ini ia akan menghancurkan tubuh Bhikkhu Gotama
dan Beliau akan meninggal. Hari ini kami akan melihat apa yang terjadi denganNya."
Para pertapa lalu berdiri di atas sebuah gudang dan di tempat-tempat yang tinggi. Gajah Nalagiri
melihat Yang Maha Sempurna berjalan menghampirinya, penduduk yang ada di sana amat ngeri
melihat gajah tersebut. Gajah yang amat kesakitan itu berlari dengan liarnya, ia menghancurkan
pagar rumah-rumah dan mengangkat belalainya tinggi-tinggi, serta menginjak-injak kereta
menjadi hancur berantakan. Dengan kuping dan ekornya yang terangkat, ia berlari dengan
kencangnya seperti gunung yang tinggi menghampiri Yang Maha Sempurna.
Para bhikkhu yang melihat gajah Nalagiri berlari mendatangi Sang Buddha, memberitahu Sang
Guru Agung :
"Yang Mulia, gajah Nalagiri berlari di sepanjang jalan ini, ia adalah binatang yang amat galak
dan liar, ia pembunuh manusia. Kami mohon Yang Mulia balik kembali."
"O....Para Bhikkhu datanglah ke sini, jangan takut; tidak ada satu mahlukpun yang dapat
menghancurkan Sang Tathagata dengan suatu serangan. Tathagata mencapai Parinibbana bukan
karena suatu serangan."
Para bhikkhu, tetap memperingatkan Sang Guru sampai tiga kali. Yang Mulia Sariputta lalu
meminta Sang Buddha dengan berkata :
"Yang Mulia, apabila ada satu persembahan yang harus diberikan kepada seorang ayah, maka
beban itu terletak pada anak sulungnya. Saya akan mengalahkan binatang ini."
Sang Buddha lalu berkata :
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
12
"Sariputta, kekuatan seorang Buddha adalah satu hal dan pengikutnya adalah hal yang lain."
Beliau menolak tawaran itu, dan berkata :
"Sariputta, tetaplah tinggal di sini."
Para bhikkhu lainnya juga meminta ijin untuk mengalahkan gajah liar itu, tetapi Sang Guru
menolak permintaan mereka. Kemudian Yang Mulia Ananda, pembantu Sang Buddha yang
mempunyai pengaruh besar terhadap Sang Buddha, tidak mampu bersikap diam dalam
menghadapi masalah ini, ia lalu berteriak :
"Biarkan gajah itu membunuh saya terlebih dahulu."
Yang Mulia Ananda berdiri di depan Sang Buddha, siap untuk mengorbankan hidupnya untuk
Sang Tathagata. Tetapi Sang Buddha berkata kepadanya :
"Bergeserlah Ananda, jangan berdiri di hadapanKu."
Yang Mulia Ananda berkata :
"Yang Mulia, gajah ini amat galak dan liar, ia dapat membunuh orang, seperti nyala api pada
permulaan suatu lingkaran. Biarkanlah ia membunuh saya terlebih dahulu dan sesudah itu ia baru
dapat menghampiri Yang Mulia."
Yang Mulia Ananda memohon tiga kali, dan Beliau tetap berdiri di depan Sang Tathagata, Beliau
tidak mau mundur. Kemudian Sang Buddha dengan kekuatan kesaktianNya membuat Yang
Mulia Ananda berada di belakang Beliau dan menempatkanNya di tengah-tengah para bhikkhu
yang tengah berkerumun.
Pada waktu itu ada seorang ibu, terlihat oleh pandangan gajah Nalagiri, ibu itu amat ketakutan, ia
ingin berlari karena ketakutan, tetapi anaknya terjatuh ketika ia ingin menggendong anak itu di
pinggangnya. Posisinya berada di antara Sang Tathagata dan gajah Nalagiri, ibu itu berusaha
berlari. Gajah itu mengejar ibu tersebut, ibu tersebut terpaku berdiri di tempatnya dengan amat
ketakutan bersama anaknya yang menjerit sekeras-kerasnya.
Hati Sang Buddha bergetar, dengan penuh cinta kasih yang terpancar dengan kuatnya
(odissakametta) dan dengan suaraNya yang penuh kelembutan seperti suara Dewa Brahma,
memanggil Nalagiri :
"Ho..! Nalagiri...! Siapa yang mebuatmu menjadi gila dengan enam belas guci minuman keras,
kamu tidak diperintahkan untuk menyerang orang lain, tetapi diarahkan untuk menyerangKu.
Jangan keluarkan kekuatanmu dengan merusak tanpa tujuan, datanglah kepadaku."
Mendengar suara Sang Buddha, Nalagiri membuka matanya dan melihat tubuh Sang Buddha
yang bersinar terang. Ia menjadi gelisah dan dengan kekuatan cinta kasih Sang Buddha yang
amat besar, maka pengaruh minuman keras yang amat kuat itu hilang. Dengan menurunkan
belalainya dan mengoyang-goyangkan kupingnya ia mendatangi dan berlutut di kaki Sang
Tathagata. Kemudian Sang Tathagata berkata :
"Nalagiri, kamu adalah gajah jahat, Aku adalah Gajah Buddha, tidak jahat dan liar, tidak
membunuh manusia, tetap mengembangkan cinta kasih."
Sambil berkata demikian Sang Tathagata lalu mengulurkan tangan kananNya dan mengelus-elus
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
13
kepala gajah itu dan mengajarkan Dhamma kepadanya dengan bersabda :
"Jangan menyerang Sang Buddha, O, gajah..! Dengan pikiran akan melukaiNya, akan
membuatmu menderita. Pembunuh seorang Buddha tidak akan memperoleh alam kehidupan
yang baik setelah kematiannya."
"Bebaskanlah dirimu dari mabuk-mabukkan dan melakukan perbuatan bodoh. Karena orang
yang bodoh tidak akan dapat pergi ke alam yang baik. Kamu harus melakukan perbuatan baik
sehingga kamu dapat menuju ke alam bahagia."
Seluruh badan gajah itu bergetar karena diliputi oleh kebahagiaan yang amat besar, dan ia
sekarang bukan hanya binatang berkaki empat biasa lagi, tetapi ia telah mencapai Tingkat
Kesucian Pertama (Sotapanna).
Penduduk yang melihat keajaiban ini berseru dengan gembira dan bertepuk tangan dengan riang.
Dengan penuh kebahagiaan, mereka menutupi badan gajah itu dengan hiasan-hiasan. Kemudian
Nalagiri terkenal dengan nama Dhanapalaka (pemilik kekayaan) dan ia menjadi amat jinak dan
tidak menyakiti siapapun.
Setelah Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ini, Beliau berpikir adalah tidak patut untuk
mencari dana di tempat yang sama. Sesudah mengalahkan para pertapa tersebut, dengan diiringi
oleh murid-muridNya, Beliau melangkah menuju ke kota seperti orang yang telah memenangkan
suatu pertempuran dan pulang kembali ke Vihara Jetavana. Para penduduk menuju Vihara
Jetavana, berdana makanan berupa nasi, minuman dan makanan enak lainnya kepada Sang Guru
Agung berserta murid-muridNya. Penduduk kota itu telah menanam kebajikan yang besar sekali.
5. Menaklukkan Angulimala
(dengan Kesaktian/Iddhi)
Ukkhitta khagga matihattha sudãrunantam
Dhãvantiyo janapathan gulimãla vantam
Uddhibhisankhatamano jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Sangat kejam dengan pedang terhunus dalam tangan yang kokoh kuat
Angulimala berlari mengejar sepanjang jalan tiga yojana dengan berkalung untaian jari
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Istri kepala penasehat (Purohita Brahmana) Raja Pasenadi Kosala yang bernama Mantani,
melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, semua senjata di dalam kota berkilau
mengeluarkan cahaya yang terang benderang. Kejadian ini menyebabkan ayahnya bertanya
kepada ahli perbintangan, mereka meramalkan bahwa anak tersebut di kemudian hari akan
menjadi perampok. Keesokan harinya, ketika ia mengunjungi istana, sang ayah bertanya kepada
Raja Pasenadi, apakah tadi malam Raja dapat tidur nyenyak. Raja menjawab, tadi malam ia tidak
dapat tidur dengan nyenyak karena melihat semua senjata di dalam gudang berkilauan. Hal ini
menandakan adanya bahaya yang akan menimpa Raja sendiri atau kerajaannya. Brahmana
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
14
tersebut lalu menyampaikan kepada Raja, bahwa semalam istrinya telah melahirkan seorang anak
laki-laki. Pada saat kelahirannya, tidak hanya pedang kerajaan, semua senjata yang ada di seluruh
kota berkilauan, yang menandakan bahwa anaknya kelak akan menjadi perampok.
Brahmana tersebut bertanya kepada Raja, apakah Raja menghendaki agar ia membunuh anaknya
yang baru lahir itu. Raja lalu bertanya, apakah anak tersebut kelak akan menjadi kepala
perampok ataukah menjadi perampok tunggal. Ia menjawab bahwa anak tersebut akan menjadi
perampok tunggal.
Raja tidak terlalu khawatir, karena beliau beranggapan bahwa kerajaannya tidak akan dapat
dikacaukan hanya oleh seorang perampok. Jadi beliau membiarkan anak tersebut hidup dan
tumbuh menjadi dewasa.
Anak itu diberi nama Ahimsaka, yang berarti tidak melukai siapapun (=tanpa kekerasan). Anak
itu diberi nama demikian karena ia berasal dari keluarga yang tidak pernah dinodai dengan
kejahatan dan juga karena sifat anak itu sendiri.
Ketika Ahimsaka dewasa, ia disekolahkan di Taxila, suatu pusat pendidikan yang terkenal pada
masa lampau. Ahimsaka amat pandai, dapat melampaui murid-murid yang lain dan menjadi
murid yang paling menonjol, dan ia amat disayang oleh gurunya. Teman-temannya menjadi iri
kepadanya. Mereka berusaha mencari kesalahan agar Ahimsaka dapat dihukum. Mereka tidak
dapat mencela kemampuan maupun reputasi baik keluarga Ahimsaka.
Mereka lalu memfitnah bahwa Ahimsaka telah melakukan hal yang tidak pantas dengan istri
gurunya. Mereka lalu membagi kelompoknya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
memberitahukan kepada guru mereka tentang kesalahan Ahimsaka, kelompok kedua dan ketiga
membenarkan apa yang dikatakan oleh kelompok yang pertama. Ketika guru mereka tidak
mempercayai apa yang mereka katakan, mereka mengusulkan supaya guru mereka
membuktikannya sendiri.
Guru Ahimsaka kemudian melihat istrinya berbicara dengan ramah kepada Ahimsaka, hal ini
menambah kecurigaannya, sehingga ia merencanakan untuk melenyapkan Ahimsaka. Sebagai
orang terpelajar, di dalam usahanya untuk melenyapkan Ahimsaka, ia tidak melakukannya secara
terbuka, karena ia takut tidak ada lagi murid yang mau berguru kepadanya.
Oleh karena itu ia berkata kepada Ahimsaka :
"Muridku, saya tidak sanggup lagi mengajarmu lebih lanjut, kecuali kamu dapat mengumpulkan
seribu buah jari tangan kanan manusia sebagi biaya pendidikanmu."
Guru Ahimsaka mengira bahwa Ahimsaka tidak akan pernah berhasil melaksanakan
keinginannya. Dan di dalam usahanya untuk mengumpulkan jari manusia, ia pasti akan
tertangkap oleh pengawal raja.
Ahimsaka menjawab, bahwa di dalam keluarga mereka tidak mempunyai kebiasaan untuk
melakukan kejahatan kepada orang lain. Berulang-ulang Ahimsaka memohon kepada gurunya,
agar ia dapat membayar biaya pendidikannya dengan cara yang lain, tetapi gurunya tetap pada
pendiriannya. Apabila ia menolak melaksanakannya, ia akan mendapat kutukan. Karena ia
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
15
mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar dan tidak ada jalan lain lagi untuk melanjutkan
pendidikannya, ia lalu mempersenjatai dirinya dan masuk ke hutan Jalini di Kosala, yang
merupakan pertemuan dari delapan jalan dan mulai membunuh siapapun yang lewat di situ untuk
mengumpulkan jari tangan manusia sesuai dengan permintaan gurunya.
Jari yang terkumpul digantungnya pada sebuah pohon. Namun karena jari-jari tersebut selalu
dihancurkan oleh burung gagak dan burung pemakan bangkai, ia lalu membuat untaian jari untuk
memastikan jumlah jari yang telah dikumpulkannya. Sejak itu ia dikenal dengan nama
Angulimala (=Untaian Jari).
Rakyat lalu pergi ke Savatthi, menghadap Raja untuk memberitahukan bahwa jumlah penduduk
semakin berkurang, karena kekejaman seorang perampok yang selalu membunuh penduduk yang
lewat di hutan itu. Mereka memohon supaya Raja mengirim pasukan untuk menangkapnya. Raja
mengabulkan permohonan rakyat dan segera memerintahkan pasukan kerajaan untuk menyelidiki
perampok tersebut.
Brahmana yang merupakan ayah Ahimsaka, berkata kepada istrinya bahwa ia amat khawatir
kalau-kalau perampok yang kejam itu adalah anak mereka sendiri, dan bertanya apa yang harus
mereka lakukan. Istrinya lalu berkata, sebaiknya ia cepat-cepat pergi ke hutan, sebelum pasukan
kerajaan tiba, untuk menyadarkan anaknya. Namun brahmana itu menolak untuk pergi. Istri
brahmana itu lalu memutuskan untuk masuk ke hutan seorang diri. Dengan kecintaan seorang ibu
terhadap anaknya yang amat besar, ia meratap dan berseru agar anaknya mau mengikuti tradisi
keluarga, berhenti melakukan pembunuhan dan berkata bahwa pasukan raja sedang dalam
perjalanan untuk menangkapnya.
Pada waktu yang sama, Sang Buddha yang sedang bersemayam di Vihara Jetavana melihat
dengan Mata Buddha (melalui Maha Karuna Samapatti), bahwa dari kumpulan karma baik yang
dimiliki pada kehidupannya yang lampau, Angulimala memiliki cukup banyak kebajikan untuk
menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan mempunyai kemampuan untuk mencapai
Tingkat Kesucian Tertinggi yaitu menjadi Arahat pada kehidupan ini juga. Sang Buddha juga
melihat bahwa ibu Angulimala dapat terbunuh apabila Angulimala melihatnya, karena ia sudah
amat ingin melengkapi untaian jari yang diminta oleh gurunya.
Untuk mencegah hal ini, Sang Buddha lalu mengubah wujudNya menjadi seorang bhikkhu dan
segera memasuki hutan. Para pengembala dan petani berusaha mencegah Sang Buddha untuk
masuk ke hutan seorang diri, karena empat puluh orang yang pergi bersama-sama pun dapat
dibunuh oleh Angulimala. Meskipun mendapat peringatan, Sang Buddha tetap melanjutkan
perjalanNya dengan berdiam diri. Untuk kedua dan ketiga kalinya mereka berusaha mencegah
Sang Guru masuk ke hutan tersebut, namun Sang Buddha dengan berdiam diri tetap meneruskan
perjalananNya masuk ke dalam hutan.
Pada pagi hari itu, Angulimala telah mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan
buah jari dan telah merencanakan bahwa siapapun yang ditemuinya pada hari itu harus
dibunuhnya. Tetapi ia mendapat kesulitan untuk menemukan orang yang dapat dibunuhnya,
karena orang-orang selalu berjalan dalam rombongan yang besar dan bersenjata lengkap.
Akhirnya ia melihat seorang bhikkhu seeang berjalan seorang diri, tanpa membawa senjata. Ia
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
16
berpikir tentu amat mudah untuk membunuhnya. Angulimala lalu membawa pedang, tameng,
anak panah beserta busurnya mengikuti Sang Buddha dari jarak yang dekat.
Sang Buddha menunjukkan kesaktianNya, sehingga bagaimanapun Angulimala berusaha berlari
sekuat tenaga, sedangkan Sang Buddha berjalan dengan kecepatan biasa, ia tetap tidak dapat
menyusul Sang Buddha.
Angulimala lalu berpikir, "Saya telah mengejar gajah, kuda, kijang dan dapat mengalahkan
mereka, sekarang meskipun saya sudah berlari sekuat tenaga, dan Bhikkhu ini berjalan dengan
kecepatan biasa saja, saya tetap tidak dapat mendekatiNya."
Dengan terengah-engah dan berkeringat, ia beretriak meminta Sang Buddha untuk berhenti :
"Tittha (+Berhentilah) Samana!"
Sang Buddha menjawab : "Saya sudah berhenti! Hentikan dirimu sendiri!"
Angulimala keheranan akan jawaban Sang Buddha dan bertanya : "Apa maksudMu?"
Sang Buddha menjawab :
"Saya telah bertekad untuk melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk, sedangkan kamu
tidak mempunyai belas kasih terhadap mahluk lain. Oleh karena itu Saya sudah berhenti,
sedangkan kamu belum berhenti melakukan pembunuhan."
Karena tumpukan karma baik Angulimala yang amat besar pada kehidupannya yang lampau,
bahwa ia diberi tahu oleh Buddha Padumuttara, bahwa ia akan menjadi seorang Arahat. Sebagai
seorang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang Arahat, setalah mendengar apa
yang dikatakan oleh Sang Buddha, ia mengetahui bahwa pertapa mulia ini adalah Buddha
Gotama yang karena cinta kasihNya yang amat besar datang untuk menolongnya.
Angulimala segera melemparkan untaian jari dan senjatanya, lalu bernamaskara di kaki Sang
Buddha dan memohon untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sambil mengangkat
tanganNya, Sang Buddha berkata :
"Ehi Bhikkhu (Mari, O Bhikkhu)."
Dengan demikian Angulimala dapat menerima delapan kebutuhan pokok seorang bhikkhu pada
saat yang bersamaan dan langsung menerima Upasampada, tanpa terlebih dahulu menjadi
seorang samanera. Dengan disertai oleh Angulimala, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.
Sementara itu Raja Pasenadi Kosala didesak untuk menangkap perampok Angulimala. Sudah
menjadi kebiasaannya untuk menemui Sang Buddha apabila ada kejadian genting. Setalah Raja
Pasenadi Kosala bernamaskara, lalu duduk di salah satu sisi, Sang Buddha bertanya :
"O, Raja, ada hal apakah yang membuat anda risau?
Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menantang anda?
Apakah para Pangeran Licchavi dari Vesali?
Atau para bangsawan sainganmu?"
Raja lalu menjelaskan masalah yang sedang dihadapinya, ia mengakui tidak dapat menangkap
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
17
Angulimala si perampok yang haus darah itu. Sang Buddha lalu bertanya :
"Apa yang akan anda lakukan kalau perampok itu memakai jubah seorang bhikkhu?"
Raja menjawab :
"Yang Mulia, saya akan menghormatinya seperti saya menghormat kepada seorang bhikkhu."
Pada saat itu Bhikkhu Angulimala sedang duduk di dekat Sang Buddha. Beliau lalu berkata
kepada raja :
"O, Raja, inilah Angulimala."
Raja Pasenadi Kosala menjadi ketakutan, badannya gemetar, rambutnya berdiri. Sang Buddha
lalu menenangkannya dan berkata bahwa ia tidak perlu takut lagi, karena Angulimala telah
menjadi seorang bhikkhu. Raja lalu mendekati Bhikkhu Angulimala dan menanyakan tentang
orang tuanya, dan menawarkan untuk memenuhi semua kebutuhannya. Pada saat itu Bhikkhu
Angulimala telah menjalani latihan hidup di hutan, berpindapatta, memakai jubah dari kain perca
yang terdiri ari tiga bagian. Oleh karena itu ia menolak tawaran raja, karena ia sudah tidak
memerlukannya lagi. Kemudian Raja Pasenadi Kosala memberi hormat kepada Bhikkhu
Angulimala dan menyatakan keheranannya kepada Sang Buddha akan perubahan yang dialami
oleh Bhikkhu Angulimala. Ia lalu pulang ke istana dengan hati yang bahagia.
Pada suatu hari, ketika Bhikkhu Angulima sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau melihat
seorang wanita yang sangat kesakitan karena akan melahirkan. Beliau melihat penderitaan wanita
itu, tergerak hatunya, lalu berpikir :
"Betapa menderitanya mahluk hidup, betapa menderitanya mahluk hidup!"
Beliau yang pernah membunuh sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang, sekarang merasa
amat kasihan melihat seorang wanita menderita kesakitan karena akan melahirkan. Ketika Beliau
selesai berpindapatta dan makan pagi, Beliau pergi ke vihara menemui Sang Buddha dan
menyampaikan apa yang dilihatnya. Sang Buddha lalu meminta Bhikkhu Angulimala pergi
menemui wanita itu dan berkata :
"Saudari, sejak saat saya dilahirkan dalam Keluarga Ariya, saya tidak saar, dengan sengaja telah
membunuh mahluk hidup. Berdasarkan kebenaran ini, semoga anda selamat dan semoga anak
anda selamat."
Beliau lalu pergi menemui wanita yang akan melahirkan bayinya. Layar penyekat diletakkan
melingkari sang ibu, Bhikkhu Angulimala duduk dan mengulang Paritta yang diajarkan Sang
Buddha. Segera saja bayi tersebut lahir dengan mudah dan selamat. (Kemanjuran Paritta
Angulimala Sutta ini masih terbukti hingga saat ini).
Tidak lama kemudian, Bhikkhu Angulimala mencapai Tingkat Kesucian Arahat.
Pada suatu hari, ketika Yang Mulia Angulimala sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau
dilempari bongkahan tanah, tongkat dan batu. Kepalanya terluka, bercucuran darah dan
mangkokNya pecah. Beliau pulang kembali ke vihara dan mendekati Sang Buddha yang sedang
duduk. Sang Buddha yang melihat keadaanNya lalu menjelaskan, bahwa semua kejadian ini
adalah akibat dari perbuatan burukNya, yang sesungguhnya dapat membuatNya menderita di
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
18
Alam Neraka selama ribuan tahun.
Sekarang Yang Mulia Angulimala hidup menyendiri, menikmati Kebahagiaan dari Kebebasan,
mengucapkan pernyataan-pernyataan Kebijaksanaan, meninggal dunia dan mencapai Nibbana.
Para bhikkhu membicarakan tempat kelahiran kembali dari Yang Mulia Angulimala, Sang
Buddha memberitahu mereka, bahwa Beliau telah mencapai Nibbana. Para bhikkhu keheranan,
bagaimana mungkin seseorang yang telah melakukan begitu banyak pembunuhan dapat
mencapai Nibbana. Sang Buddha menjawab bahwa pada masa yang lampau, karena bimbingan
yang kurang baik, Angulimala telah melakukan perbuatan-perbuatan buruk namun kemudian
ketika Beliau mendapat bimbingan yang baik, Beliau menjalani kehidupan suci. Dengan
demikian Beliau dapat mengatasi perbuatan buruk dengan perbuatan baiknya. Setalah berkata
demikian, Sang Buddha mengucapkan syair :
"Mereka yang dapat mengatasi perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, menyinari
dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan." (Dhammapada 173).
6. Mengalahkan Cinca
(dengan Kedamaian / Santi)
Katvãna ktthamudaram iva gabbhiniyã
Ciñcãya duttha vacanam janakãya majjhe
Santena somaviddhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Setelah membuat perutnya gendut seperti wanita hamil dengan mengikatkan sepotong kayu
Cinca memfitnah di tengah-tengah banyak orang
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan sikap kesatria dan kedamaian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Pada saat para pertapa kehilangan banyak pengikut yang menyokong kehidupan mereka, mereka
amat iri melihat banyak orang, baik kaya maupun miskin mendatangi Sang Buddha untuk
menyampaikan hormat dan mendengarkan Dhamma. Mereka lalu melakukan perbuatan buruk,
dan berteriak-teriak di tengah jalan :
"Hai saudara-saudara ..... Apakah hanya Bhikkhu Gotama saja yang dapat menjadi seorang
Buddha? Kami adalah para Buddha juga! Apakah hanya dengan berdana kepadaNya saja yang
akan memperoleh kebajikan? Yang berdana kepada kami, juga akan memperoleh kebajikan yang
sama. Karena itu kamu harus memberikan dana dan penghormatan kepada kami juga."
Tetapi penduduk di desa itu tetap tidak memperhatikan mereka. Akhirnya para pertapa dengan
diam-diam berkumpul bersama dan berunding :
"Dengan cara bagaimana kita dapat mencela Bhikkhu Gotama di depan orang banyak, sehingga
orang-orang akan berhenti memberikan dana dan penghormatan kepadaNya?"
Pada waktu itu di Savatthi, tinggallah seorang pertapa wanita bernama Cinca Manavika. Ia
mempunyai kecantikan dan keelokan yang luar biasa. Dari tubuhnya memancar sinar terang
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
19
seperti seorang dewi. Seorang penasihat pertapa yang kasar menusulkan, dengan bantuan Cinca
mereka akan dapat mencela Sang Buddha Gotama. Para pertapa yang lain menyetujui usulannya.
Mereka lalu memanggil Cinca Manavika.
Cinca Manavika mendatangi para pertapa, lalu memberi hormat dan berdiri menanti, tetapi para
pertapa itu diam saja. Ia lalu bertanya :
"Ada masalah apakah Anda ingin bertemu dengan saya?"
Pertanyaan ini diulangnya tiga kali, tetapi para pertapa itu diam saja. Kemudian ia berkata lagi :
"Tuan yang mulia, saya datang menghadap untuk memperoleh jawaban. Ada masalah apakah
Anda ingin bertemu dengan saya? Mengapa Anda tidak mau menjawab pertanyaanku?"
"Saudari," jawab salah seorang pertapa, "Tahukah kamu, kalau Bhikkhu Gotama sangat
merugikan kami, sehingga penghasilan dan penghormatan orang-orang kepada kami menjadi
hilang?"
"Tidak yang mulia, saya tidak mengenalnya, tetapi adakah yang dapat saya bantu dalam hal ini?"
"Saudari, kalau kamu mengharapkan kami hidup sejahtera, gunakanlah segala kemampuanmu,
susunlah rencana untuk mencela Bhikkhu Gotama, sehingga orang-orang tidak memberikan dana
dan penghormatan lagi kepadaNya."
Cinca Manavika menjawab :
"Baiklah yang mulia, saya akan melakukannya, jangan khawatir."
Setelah berkata demikian, ia pergi dari pertapaan itu.
Sejak saat itu, Cinca meningkatkan keahliannya dalam bidang kewanitaan untuk mencapai
maksudnya. Ia lalu menyusun rencana, apabila penduduk Savatthi kembali dari Vihara Jetavana
setelah mendengarkan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, ia dengan sengaja
mengenakan mantel panjang yang berwarna merah menyala, menyemprotkan minyak wangi dan
mengenakan untaian bunga di tangannya, dan berjalan menuju ke arah Vihara Jetavana. Orangorang
bertanya :
"Mau kemana kamu pada malam hari begini?"
"Saya mau pergi kemana saja, apa urusannya denganmu?"
Ia lalu menghabiskan malam itu di dekat Vihara Jetavana, di tempat para pertapa. Keesokan
harinya ketika para penduduk keluar dari rumah menuju ke vihara untuk menyampaikan
hormatnya kepada Sang Buddha, ia berjalan balik pulang masuk ke kota, seperti ia baru saja
kembali dari Vihara Jetavana. Orang-orang bertanya : "Tidur di mana kamu semalam?"
"Apa urusannya dengan kamu, di mana saya tidur semalam?" jawabnya.
Setelah satu setengah bulan berlalu, apabila orang bertanya dengan pertanyaan seperti di atas, ia
selalu menjawab :
"Oh, saya menghabiskan malam ini di Vihara Jetavana sendirian bersama Bhikkhu Gotama di
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
20
Ruang Dhammasala."
Karena jawabannya itulah membuat orang-orang mempunyai perasaan curiga dan khawatir, tetapi
mereka tidak percaya akan apa yang dikatakan Cinca. Mereka bertanya-tanya : "Ini benar atau
salah...?"
Ketika tiga minggu sampai empat bulan berlalu, Cinca lalu membalut perutnya dengan kain,
sehingga terlihat ia sedang hamil muda. Ia lalu pergi dan berkata kepada para penduduk :
"Saya mengandung bayi dari Bhikkhu Gotama."
Jadi ia menipu dengan melakukan perbuatan yang sangat bodoh. Ketika delapan sampai sembilan
bulan berlalu, ia mengikat dengan kuat sepotong kayu di perutnya, dan menutupinya dengan
jubah panjang. Ia lalu membuat seluruh tubuhnya membengkak, dengan cara memukuli tangan,
kaki dan punggungnya dengan sepotong tulang kerbau. Ia merasa tubuhnya seperti orang yang
sedang hamil tua.
Pada malam itu ia mendatangi Ruang Dhammasala dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Saat itu
Sang Buddha sedang duduk di tempat duduknya yang indah, di tengah Ruang Dhammasala dan
sedang membabarkan Dhamma. Dengan berdiri di hadapan Sang Buddha, Cinca Manavika
membuka mulutnya, mencerca dengan berkata :
"Hai Bhikkhu Yang Perkasa, kekuatanMu adalah mengumpulkan orang ketika sedang
mengajarkan AjaranMu; dengan suaraMu yang halus dan lembut keluar dari bibirMu. Sayang
sekali ternyata Kamu adalah orang yang menjadikan saya hamil dan saya akan melahirkan tidak
lama lagi. Tetapi, Kamu juga tidak berusaha untuk menyediakan tempat berbaring di ruangan ini
untukku, ataupun menawarkan kepadaku susu, minyak ataupun keperluan lainnya yang aku
butuhkan. Batalkan semua tugas yang harus Kamu kerjakan, tidakkah Kamu katakan ke orangorang
yang menjadi pengikutMu, seperti Raja Kosala, Anathapindika dan Visakha pendukungMu
yang terkenal itu. Katakanlah : 'Berikanlah apa yang perempuan muda ini butuhkan.' Kamu
mengetahui dengan baik bagaimana membuat kesenangan, tetapi Kamu tidak mengetahui
bagaimana memelihara anak yang menjadi keturunanMu ini."
Cinca nmencerca Sang Tathagata di tengah-tengah orang banyak, seperti seorang perempuan
yang membawa kotoran di tangannya dan ingin mengotori permukaan bulan.
Sang Buddha yang diganggu oleh Cinca saat Beliau membabarkan Dhamma hanya berkata :
"Saudari, apa yang kamu katakan itu benar atau salah, hanya Tathagata 1) dan kamu yang tahu."
"Ya, Bhikkhu Yang Perkasa, siapakah yang dapat memutuskan apakah hal ini benar atau salah
kalau hanya saya dan Kamu yang tahu?" jawab Cinca.
Pada saat itu juga tempat duduk Dewa Sakka 2) terasa panas. Dewa Sakka mencari sebabnya
mengapa tempat duduknya menjadi panas, Beliau segera menyadari bahwa :
"Cinca Manavika berbohong dengan menuduh Sang Tathagata."
Dewa Sakka lalu berkata sendiri :
"Saya akan membuat masalah ini menjadi terang dan jelas."
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
21
Dewa Sakka beserta keempat dewa lainnya pergi ke Ruang Dhammasala itu. Para Dewa itu lalu
mengubah dirinya menjadi tkus-tikus kecil. Dengan satu gigitan dari tkus-tikus kecil itu, tali yang
mengikat kayu di perut perempuan itu putus. Pada waktu itu juga angin bertiup dengan
kencangnya sehingga jubah panjang itu terlepas dari tubuh Cinca, dan sepotong kayu segera jatuh
dari perutnya. Kayu itu menimpa kaki dan memutuskan jari-jari kakinya. Orang-orang berteriak :
"Perempuan jahat ini telah mencerca Yang Maha Sempuna, usir dia dari sini."
Dengan segera mereka lalu mencengkeram kepalanya, dengan segumpal tanah dan tongkat di
tangan mereka mengusir Cinca, lalu melemparkan Cinca keluar dari Vihara Jetavana.
Ketika ia tidak terlihat lagi oleh Sang Tathagata, bumi di hadapannya merekah terbelah dua dan
membenamkannya sampai di kedua lututnya, dan api Neraka Avici 3) segera menyambarnya.
Tubuh Cinca lalu ditelan kobaran api, dan seperti diselimuti oleh selimut yang indah, dengan
segera ia terlahir kembali di Neraka Avici.
Sejak saat itu orang-orang tidak menghormati para pertap itu lagi, sebaliknya pengikut Sang
Buddha bertambah banyak.
Keesokan harinya, para bhikkhu berdiskusi di Ruang Dhammasala :
"Bhante, Cinca Manavika karena kesalahannya menuduh Yang Maha Suci, Yang Maha
Sempurna, ia menjadi hancur."
Sang Guru Agung mendekati mereka dan bertanya :
"O, Para Bhikkhu, apa yang kalian bicarakan?"
Ketika mereka menjelaskan apa yang mereka perbincangkan, Sang Buddha lalu menjelaskan :
"O, Para Bhikkhu, ini bukanlah yang pertama kali ia melakukan kesalahan dengan melakukan
tuduhan bohong kepadaKu dan menjadi hancur. Ia telah melakukan hal yang sama pada
kelahirannya yang terdahulu."
Setelah berkata demikian, Sang Guru lalu bersabda :
Kalau seorang raja melihat dengan jelas kesalahan pada suatu bagian
Sesudah ia sendiri menyelidiki semua fakta dengan teliti
Baik kecil maupun besar, ia tidak harus memberikan hukuman
Setelah berkata demikian, Beliau menjelaskan hal ini secara terperinci di dalam Maha Paduma
Jataka (No. 472), di Nipata Dua Belas.
Keterangan :
1. Tathagata : Yang Maha Sempurna; Sebutan untuk Sang Buddha yang digunakan oleh
Beliau apabila berbicara untuk diriNya.
2. Dewa Sakka : Raja para dewa
3. Neraka Avici : Salah satu dari neraka yang menakutkan
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
22
7. Menaklukkan Saccaka, Sang Orator
(dengan Kebijaksanaan / Paññã)
Saccam vihãya matisaccaka vãdaketum
Vãdãbhiropitamanam atiandabhutam
Paññãpadipa jalito jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Saccaka, yang biasanya berkata menyimpang dari Kebenaran
Dengan pikiran buta, mengembangkan teorinya bagaikan bendera
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan terangnya pelita kebijaksanaan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Seorang pertapa yang mempunyai kemampuan untuk mengingat lima ratus argumentasi dan
perdebatan, tiba di Vesali dan ia disambut dengan baik di tempat itu. Seorang pertapa wanita
yang mempunyai kemampuan yang sama juga datang ke Vesali. Para pemimpin bangsa Licchavi
lalu mempertemukan keduanya dalam suatu perdebatan seru. Ketika mereka terbukti sebanding
sebagai pendebat, tidak dapat saling mengalahkan, orang-orang Licchavi lalu mendapatkan ide
bahwa pasangan yang demikian pasti akan menghasilkan anak-anak yang pandai. Mereka lalu
mengatur pernikahan di antara keduanya. Mereka mempunyai empat orang anak perempuan dan
seorang anak laki-laki. Anak-anak perempuan itu bernama : Sacca, Lola, Avavadaka dan
Patacara, sedangkan anak laki-laki diberi nama Saccaka. Kelima anak ini ketika mencapai usia
dewasa telah mempelajari seribu argumentasi dan perdebatan, lima ratus dipelajari dari ibu
mereka dan lima ratus dari ayah mereka. Orang tua mereka mengajarkan kepada anak-anak
perempuannya demikian :
"Bila ada pria yang dapat membuktikan kekeliruan dari pendapatmu, maka engkau harus menjadi
istrinya, namun bila ia seorang pertapa, engkau harus menjadi muridnya."
Setelah beberapa waktu kemudian, orang tua mereka meninggal dunia. Ketika orang tuanya telah
meninggal dunia, Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama, mempelajari pengetahuan dan
tradisi bangsa Licchavi dan mengajar para pangeran Licchavi. Ke empat orang saudara
perempuan Saccaka membawa sebuah cabang pohon apel, mengembara sebagai pendebat dari
kota ke kota dan pada akhirnya tiba di Savatthi. Mereka lalu menanam cabang pohon apel
tersebut di depan gerbang kota dan berkata kepada para pemuda yang berada di sana :
"Bila ada seorang pria, apakah dia orang biasa ataupun seorang pertapa yang dapat menandingi
kami di dalam mempertahankan suatu pendapat, biarkan ia mengacak tumpukan tanah dan
menginjak cabang pohon ini."
Setelah berkata demikian mereka memasuki kota untuk mengumpulkan dana makanan.
Ketika itu Yang Mulia Sariputta, setelah merapikan dan membersihkan vihara, dan mengunjungi
orang-orang sakit, Beliau memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Yang Mulia Sariputta lalu
melihat dan mendengar tentang cabang pohon tersebut, Beliau lalu meminta para pemuda yang
ada di situ untuk mencabut cabang pohon dan melemparkannya ke tanah. Beliau lalu berkata :
"Katakanlah kepada yang telah menanam cabang pohon ini, apabila mereka telah selesai
bersantap untuk datang dan menemuiKu di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana."
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
23
Yang Mulia Sariputta lalu memasuki kota dan setelah selesai bersantap, Beliau duduk menunggu
di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana. Demikian pula dengan para pertapa wanita itu,
setelah mereka kembali dari mengumpulkan dana makanan, mereka menemukan cabang pohon
yang mereka tanam telah tercabut dan tergeletak di tanah. Mereka segera menanyakan siapa yang
telah berani melakukannya. Para pemuda di situ mengatakan bahwa Yang Mulia Sariputtalah
yang telah melakukannya, bila mereka ingin berdebat, mereka ditunggu di ruangan di atas
gerbang vihara.
Para pertapa wanita itu lalu kembali ke kota, diikuti dengan banyak penonton yang ingin
menyaksikan perdebatan itu. Mereka lalu menuju ke tempat di mana Yang Mulia Sariputta
menunggu. Mereka segera mengajukan seribu macam pertanyaan kepada Yang Mulia Sariputta,
dan Beliau dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan baik, sampai akhirnya tidak ada lagi
yang dapat mereka tanyakan. Yang Mulia Sariputta bertanya, apa lagi yang akan mereka
utarakan, mereka menjawab :
"Tidak ada lagi yang akan kami tanyakan Yang Mulia."
Yang Mulia Sariputta berkata :
"Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada kalian."
Tetapi mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu, akhirnya mereka mengaku kalah :
"Yang Mulia, kami mengaku kalah, Andalah pemenangnya."
"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Yang Mulia Sariputta.
Mereka menjawab :
"Orang tua kami menasihatkan demikian : 'Apabila kamu dikalahkan di dalam suatu perdebatan
oleh orang biasa, maka kamu harus menjadi istrinya, tetapi apabila ia seorang pertapa, kamu
harus menjadi muridnya.' Oleh karena itu, kami mohon kepada Yang Mulia untuk membimbing
kami memasuki kehidupan suci."
Yang Mulia Sariputta menyetujui dan mentahbiskan mereka dalam Sangha Bhikkhuni yang
bernama Uppalavana. Dan dalam waktu yang singkat, mereka semua mencapai Tingkat Kesucian
Arahat.
Saudara laki-laki mereka, Saccaka belajar lebih banyak dibandingkan saudara-saudara
perempuannya. karena selain ia belajar dari orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru yang
lain. Saccaka menetap di Vesali menjadi guru bagi para pangeran. Ia terkenal sebagi pendebat
ulung, yang tak terkalahkan dan ia ditakuti oleh lawan-lawannya. Karena ia merasa semakin
banyak ilmu yang dipelajari, ia takut tubuhnya akan meledak, karena itu ia memakai ikat
pinggang besi. Kepada semua orang ia memproklamirkan :
"Tidak seorangpun yang mempunyai ilmu yang melebihi diriku."
Dan banyak orang yang menjadi pengikutnya.
Pada suatu hari, Saccaka bertemu dengan Yang Mulia Assaji, yang sedang berpindapatta di kota
Vesali. Ketika melihat Beliau, ia berpikir alangkah baiknya kalau ia dapat melakukan perdebatan
dengan Sang Buddha. Ia telah sering mendengar tentang Sang Buddha, tetapi ia ingin mengetahui
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
24
terlebih dahulu apa yang diajarkan oleh Sang Guru Agung. Ia lalu menghampiri Yang Mulia
Assaji dan bertanya : "Yang Mulia, bagaimanakah Bhikkhu Gotama mengajar murid-muridNya?
Apakah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer?"
Yang Mulia Assaji menjawab :
"Yang Maha Suci menerangkan :
· Bentuk (=Rupã) adalah tidak kekal (=Aniccã);
· Kelompok perasaan (=Vedanã) adalah tidak kekal;
· Pencerapan (=Saññã) adalah tidak kekal;
· Bentuk batin yang berhubungan dengan keinginan (=Sankhãrã) adalah tidak kekal;
· Kesadaran (=Viññãna) adalah tidak kekal; dan
· Segala yang berwujud adalah tanpa jiwa / inti (=Anattã).
Demikianlah Yang Maha Suci mengajarkan murid-muridNya dan inilah Ajaran Beliau yang
paling mutakhir dan paling populer."
Ketika Saccaka mendengar pernyataan ini, ia berkata :
"Sebelumnya saya tidak pernah mendengar doktrin seperti itu, saya akan menemui Bhikkhu
Gotama dan meyakinkan Beliau akan kesalahan besar ini."
Sebelumnya Saccaka takut mengadakan perdebatan dengan Sang Buddha karena ia belum
mengetahui Ajaran Beliau, tapi sekarang rasa takutnya telah lenyap dan dengan membual tentang
apa yang akan dicapainya, ia membujuk para pangeran untuk menyertainya menemui Sang
Buddha. Ia berangkat ke Vihara Mahavana, dengan diiringi lima ratus orang pangeran Licchavi.
Sang Buddha telah mengetahui Saccaka akan datang menemuiNya, sekembali dari berpindapatta
Beliau lalu meminta para bhikkhu untuk menyiapkan tempat duduk di bawah sebuah pohon di
hutan yang berdekatan dengan vihara tersebut. Ketika Saccaka datang, ia dipersilakan menuju ke
tempat tersebut. Para penduduk yang mendengar bahwa Saccaka datang dengan disertai lima
ratus orang pangeran, untuk berdebat dengan Sang Buddha, berduyun-duyun datang ke hutan itu
untuk menyaksikan perdebatan seru itu.
Setelah Saccaka memberikan salam hormat kepada Sang Buddha, Saccaka meminta ijin untuk
mulai mengajukan pertanyaan. Sang Buddha berkata, ia dapat bertanya apa saja yang ingin
ditanyakannya. Saccaka lalu mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya
kepada Yang Mulia Assaji. Sang Buddha menjawab pertanyaan itu dengan memberi penjelasan
yang menyeluruh dan terperinci mengenai dasar-dasar Ajaran Beliau, dan menunjukkan
kekeliruan pandangan Saccaka. Untuk orang-orang tertentu, hanya seorang Samma Sambuddha
yang dapat meyakinkan dan meluruskan pandangan mereka yang keliru, dan Saccaka adalah
salah seorang di antaranya.
Setelah perdebatan berlangsung beberapa saat, Sang Buddha mengajukan sebuah pertanyaan
kepada Saccaka, tetapi ia diam tidak menjawab. Untuk kedua kalinya Sang Buddha bertanya,
Saccaka tetap diam. Kemudian Sang Buddha bertanya untuk ketiga kalinya, pada saat itu raja
para dewa yaitu Dewa Sakka dengan memegang kapak di tangannya, berdiri melayang di udara,
tepat di atas kepala Saccaka dan berkata :
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
25
"Saccaka, apabila kamu tidak mau menjawab pertanyaan Sang Tathagata yang telah diajukan
untuk ketiga kalinya, maka Aku akan membelah kepalamu menjadi tujuh bagian."
Hanya Sang Buddha dan Saccaka yang dapat melihat Dewa Sakka.
Akhirnya Saccaka mengakui bahwa Ajaran Sang Buddha benar, ia mengaku kalah. Keringat
membasahi tubuhnya sehingga jubahnya basah kuyup. Melihat kejadian ini, Sang Buddha
menunjukkan bahwa jubah Saccaka basah kuyup oleh keringat sedangkan Beliau sendiri tidak
berkeringat sedikitpun. Merasa terkalahkan Saccaka tertunduk dan diam seribu bahasa.
Seorang pangeran Licchavi bernama Durmukha mengibaratkan Saccaka sebagai seekor kepiting
yang semua kakinya telah patah. Saccaka mengakui kekalahannya. Kemudian ia bertanya lagi
tentang Ajaran Sang Buddha yang lebih terperinci.
Ia lalu mengundang Sang Buddha berserta murid-muridNya untuk menerima dana makanan yang
dipersembahkan di tempat kediamannya.
Pada kesempatan lain, Saccaka seorang diri mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan
uraian lebih lanjut tentang Dhamma Yang Mulia. Uraian Dhamma ini tercantum di dalam Maha
Saccaka Sutta.
8. Menaklukkan Raja Naga1) Nandopananda
(dengan Kekuatan Kesaktian / Iddhi)
Nandopananda bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena Thera bhujagena damapayanto
Iddhupadesa vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Nandopananda naga berpengertian salah memiliki kekuatan besar
Putra Sang Buddha yang Terkemuka (Moggallana Thera) sebagai naga pergi untuk menjinakkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kekuatan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Pada suatu hari, jutawan Anathapindika, sesudah mendengarkan Ajaran Sang Buddha di Vihara
Jetavana, mengundang Sang Guru Agung dengan lima ratus bhikkhu untuk menerima dana pada
esok harinya.
Pagi-pagi sekali, pada saat Sang Buddha memeriksa keadaan di dunia ini, Beliau melihat Raja
Naga Nandopananda mempunyai pandangan salah, tetapi mempunyai karma baik untuk
berlindung kepada Sang Tri Ratna. Sang Guru juga melihat hanya Bhikkhu Moggallana yang
mempunyai kemampuan untuk menaklukkan Raja Naga itu.
Sang Buddha meminta Bhikkhu Ananda untuk memanggil lima ratus muridNya untuk menyertai
Beliau ke Surga Tavatimsa 2). Sang Buddha beserta para bhikkhu terbang di udara. Dalam
perjalanan menuju Surga Tavatimsa, mereka melintas di atas kediaman Nandopananda. Ketika
itu, ia sedang menikmati makanannya yang enak. Ia sangat marah melihat para bhikkhu terbang
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
26
itu, ia sedang menikmati makanannya yang enak. Ia sangat marah melihat para bhikkhu terbang
melintas di atas kediamannya, dan berniat untuk menghalangi perjalanan mereka.
Ia lalu bergelung melingkari Gunung Sineru sebanyak tujuh kali dan kepalanya berada di puncak
gunung. Ia menciptakan kegelapan, membuat segala sesuatu tidak kelihatan, sehingga
menyebabkan Surga Tavatimsa tidak dapat terlihat. Kegelapan yang terjadi dengan mendadak ini,
menyebabkan Bhikkhu Ratthapala berkata kepada Sang Buddha, bahwa tidak ada surga maupun
Istana Vejayanta dapat terlihat pada hari itu. Sang Buddha lalu menjelaskan kepadanya bahwa
Raja Naga Nandopanandalah yang menyembunyikan gunung tersebut. Setelah mendengar
penjelasan Sang Guru, Bhikkhu Ratthapala berkata ia akan pergi dan menaklukkan Raja Naga itu,
tetapi Sang Buddha tidak mengijinkannya.
Kemudian Bhikkhu Bhaddiya maju ke depan, menawarkan diri untuk menaklukkannya, tetapi
Sang Buddha juga tidak mengijinkannya. Kemudian Bhikkhu Rahula dan beberapa bhikkhu
lainnya juga tidak diijinkan oleh Sang Buddha untuk menaklukkan Raja Naga itu.
Dengan seijin Sang Buddha, Bhikkhu Moggallana pergi untuk menaklukkan Raja Naga
Nandopananda. Beliau lalu mengubah dirinya seperti Raja Naga juga, lalu mendekati
Nandopananda. Ia lalu melingkari Nandopananda sebanyak empat belas kali dengan ekornya.
Ia menaruh kepalanya di atas kepala Nandopananda dan menekannya ke bawah ke Gunung
Sineru. Raja Naga berusaha keras untuk melepaskan diri dengan menyemburkan bisanya. Tetapi
Bhikkhu Moggallana mengirimkan serangan balasan, yang lebih kuat daripada Raja Naga yang
membuat Raja Naga itu amat menderita. Kemudian Raja Naga menyemburkan api, dan Bhikkhu
Moggallana juga melakukan hal yang sama. Semburan api itu amat menyakiti Raja Naga, tetapi
sebaliknya semburan api Raja Naga tidak menyakiti Bhikkhu Moggallana.
Nandopananda lalu berteriak dengan marah : "Siapakah engkau?"
"Saya adalah Moggallana," jawab Bhikkhu Moggallana yang sudah kembali ke wujudNya
semula.
Sesudah itu Bhikkhu Moggallana masuk ke dalam salah satu kuping Raja Naga dan keluar dari
kuping lainnya. Ketika Raja Naga membuka mulutnya, Bhikkhu Moggallana memasuki perutnya,
dan mulai berjalan naik turun, dari kepala sampai ke ekor dan dari ekor sampai ke kepala. Sang
Buddha menegur Bhikkhu Moggallana dan mengingatkanNya akan kekuatan Raja Naga itu.
Raja Naga amat marah dengan gangguan pada ususnya yang amat menyakitkan. Ia lalu
memutuskan untuk menekan sampai mati kalau Bhikkhu Moggallana keluar dari mulutnya. Ia
lalu berkata :
"Yang Mulia, keluarlah dan jangan berjalan naik turun di dalam perutku ini."
Tetapi Bhikkhu Moggallana keluar tanpa diketahuinya. Ketika Raja Naga itu melihatNya sudah
berada di luar, ia lalu menyemburkan racun berbisanya yang lain. Bhikkhu Moggallana dengan
segera masuk ke Jhana Keempat 3), di sana semburan racun berbisa itu tidak dapat menyentuh
selembar rambutpun di tubuhNya.
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
27
Selain Sang Buddha, hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat masuk ke Jhana Keempat dengan
segera. Para bhikkhu lainnya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan bermeditasi.
Bagaimanapun mereka tidak akan dapat dengan segera memasuki Jhana Keempat agar dapat
terhindar dari semburan racun berbisa Raja Naga itu, karena apabila terlambat mereka akan
hangus menjadi abu. Sang Buddha telah mengetahui kejadian yang amat kritis ini, dan tidak
mengijinkan para bhikkhu yang lain, kecuali hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat
menaklukkan Raja Naga ini.
Nandopananda menerima kekalahannya dan mengubah dirinya menjadi seorang pemuda dan
berkata :
"Yang Mulia, saya ingin berlindung kepadaMu."
Ia bersimpuh di kaki Bhikkhu Moggallana. Kemudian Bhikkhu Moggallana mengatakan bahwa
Sang Buddha ada di sini dan mereka lalu pergi menemui Beliau.
Bhikkhu Moggallana membawa Raja Naga ke hadapan Sang Buddha, lalu bersujud :
"Yang Mulia, saya ingin berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha."
Sang Buddha bersabda :
"O, Raja Naga, semoga kamu bahagia."
Dengan diiringi ke lima ratus bhikkhu, Sang Buddha lalu melanjutkan perjalanan menuju Surga
Tavatimsa menemui Raja Sakka.
Setelah selesai, Sang Buddha kemudian kembali ke Savatthi. Jutawan Anathapindika yang sedang
menunggu kedatangan Sang Buddha untuk memberikan dananya, mendengar bahwa Bhikkhu
Moggallana dapat menaklukkan Raja Naga Nandopananda merasa amat gembira, lalu ia
mempersembahkan dana kepada Sang Buddha dan ke lima ratus bhikkhu terus-menerus selama
satu minggu.
Keterangan :
1. Naga : Mahluk Asura yang mempunyai kesaktian
2. Surga Tavatimsa : Alam 33 Dewa yang diketuai oleh Dewa Sakka
3. Jhana Keempat : Salah satu tingkat pencapaian meditasi
9. Menaklukkan Dewa Brahma1) Baka
(dengan Pengetahuan / Nana)
Duggahaditthi bhujagena sudattha hattham
Brahmam visudhi jutimiddhi bakabhidhanam
Nanagadena vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Bagaikan ular yang melilit pada lengan,
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
28
Demikian pandangan salah dimiliki oleh Baka, Dewa Brahma yang memiliki sinar dan kekuatan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan obat pengetahuan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Ketika Sang Buddha sedang bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau mengetahui bahwa Dewa
Brahma Baka, mempunyai pandangan yang salah. Ia berpendapat bahwa Brahma-loka (=Alam
Brahma) adalah kekal, tetap untuk selama-lamanya, abadi, tidak berubah; selain di alam Brahma
tidak ada penyelamatan atau pembebasan secara menyeluruh.
Di dalam kelahirannya yang terdahulu, Dewa Brahma Baka yang berlatih meditasi, terlahir
kembali di Surga Vehapphala. Beliau berada di sana selama lima ratus kalpa 2), lalu terlahir
kembali di Surga Subhakinna. Sesudah berada di sana selama enam puluh empat kalpa, ia terlahir
kembali di Surga Abhassara, di sana ia berada selama delapan kalpa. Di Surga Abhassara inilah ia
mempunyai pandangan salah. Ia lupa bahwa ia pindah dari Alam Brahma yang tertinggi dan
terlahir di Alam Surga yang lebih rendah yaitu Surga Abhassara.
Sang Buddha mengetahui pandangan yang salah ini. Beliau lalu menghilang dari Vihara Jetavana
dan muncul di Alam Brahma. Vasavatti Mara mengetahui maksud Sang Guru Agung ini; dan ia
berniat untuk menghalangi, ia lalu pergi ke Alam Brahma yang sama.
Ketika Sang Buddha mulai berbicara dengan Dewa Brahma Baka, Mara menyela pembicaraan
dengan mengatakan bahwa Dewa Brahma Baka amat bijaksana dan mempunyai kekuatan
terhadap Dewa Brahma lainnya. Bahwa ialah yang menciptakan dunia ini, menciptakan Gunung
Maha Meru (nama gunung tertinggi di dunia ini), dan menciptakan dunia-dunia lain; ia pula yang
menentukan kasta atau tingkatan suatu mahluk; ia pula yang menciptakan bermacam-macam
binatang.
Mara berkata kepada Sang Buddha :
"Tidak ada seorang pertapapun sebelum Kamu yang berpikir bahwa dunia ini tidak abadi. Dan
sesudah mempelajari bahwa segala sesuatu itu tidak abadi, mereka langsung masuk ke neraka.
Ada beberapa Dewa Brahma yang menyangkal hal ini, mereka menyatakan bahwa segala sesuatu
adalah abadi, maka mereka terlahir kembali di Alam Brahma. Karena itu, lebih baik Kamu
mengajarkan hal yang sama, seperti yang para Dewa Brahma lakukan. Saya memberiMu nasehat
ini, kalau Kamu mengajarkan doktrin yang sama, maka Kamu akan memperoleh hadiah yang
sama pula; tetapi kalau Kamu menyangkalnya maka Kamu akan hancur."
Tetapi Sang Buddha menjawab :
"Saya tahu siapa kamu ini. Kamu adalah Mara si Penggoda, janganlah kamu berpikir kamu dapat
mengelabuiKu."
Kemudian Dewa Brahma Baka berkata bahwa Alam Brahma selalu ada, di mana tidak ada
kehancuran ataupun kematian. Tidak ada perpindahan dari satu alam ke alam lain; segala
sesuatunya selalu kekal, tetap, abadi, mutlak dan tidak berubah; selain di Alam Brahma tidak ada
keselamatan. Dan banyak Para Buddha sebelum Buddha Gotama, kemanakah mereka lenyap?
Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan mereka pergi kemana; dan akan lebih baik apabila
Buddha Gotama merasa malu dengan doktrinNya, dan lebih baik menerima doktrin yang sama
Sang Buddha Pelindungku IV hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id/
29
dengan para Dewa Brahma.
Tetapi Sang Buddha Gotama memperlihatkan kemampuanNya yang luar biasa kepada Dewa
Brahma Baka, dengan menjelaskan tentang enam kelahiran Dewa Brahma Baka yang terdahulu,
dimana Beliau sendiri menghilang tanpa diketahui berada di mana. Sang Buddha lalu
menjelaskan :
Dalam salah satu kelahirannya, Dewa Brahma Baka adalah seorang pertapa yang bertempat
tinggal di tepi sungai. Pada waktu itu, ada lima ratus orang pedagang datang dengan membawa
keretanya ke tempat yang sama pula, mereka amat sopan dan ramah. Tidak lama kemudian, sapi
jantan pertama yang menarik kereta, pulang kembali ke rumah dan diikuti sapi-sapi jantan
lainnya. Keesokan paginya, para pedagang itu tidak mempunyai minyak, makanan ataupun air
minum, mereka amat kelaparan dan kehausan. Mereka amat lemas, hanya berbaring saja dengan
berpikir mereka akan mati di sana. Tetapi pertapa yang melihat mereka dalam kesulitan
membawakan air minum, sehingga para pedagang itu selamat dari kematian.
Pada lain waktu, beberapa pencuri mencuri di suatu desa, mereka mengambil barang yang mereka
sukai. Si Pertapa yang mengetahui perbuatan para pencuri itu, lalu menciptakan suara-suara dari
barang-barang yang mereka curi itu, dalam lima tangga nada yang cukup keras, sehingga para
pencuri itu terkejut dan membuang barang-barang yang mereka curi. Dengan ketakutan mereka
melarikan diri, karena mengira raja datang.
Pada kesempatan lain, penduduk dari dua desa yang bersisian di tepi sebuah sungai setuju pergi
bersama-sama naik sebuah kapal untuk berdagang. Kepergian mereka diketahui oleh Naga jahat
yang berniat ingin menghancurkan mereka, tetapi pertapa yang mengetahui niat jahat Naga itu
lalu menampakkan dirinya sebagai garuda raksasa. Garuda itu menakut-nakuti dan menyerang
Naga jahat itu, sehingga Naga tersebut terbang ketakutan tanpa menyentuh para pedagang.
Mereka selamat dari mara bahaya.
Karena tindakan-tindakannya yang penuh dengan cinta kasih kepada mahluk lain inilah, yang
menyebabkan pertapa itu terlahir kembali di Alam Brahma.
Sang Buddha Gotama menunjukkan kemampuanNya yang luar biasa sebagai seorang Buddha
dalam membabarkan Dhamma, menjelaskan tentang Empat Kesunyataan Mulia. Sehingga pada
akhirnya pikiran dari seribu dewa di Alam Brahma terbebas dari kemelekatan dan pandangan
keliru.
Dewa Brahma Baka mengakui bahwa apa yang Sang Buddha Gotama katakan adalah benar, dan
mengakui pengetahuan Sang Guru Agung yang luar biasa, sehingga ia menyatakan diri
berlindung kepada Sang Tri Ratna, demikian pula para Dewa Brahma lainnya. Sang Buddha lalu
pulang kembali dari Alam Brahma ke Vihara Jetavana.
Keterangan :
1. Brahma : Dewa istimewa yaitu Dewa yang mempunyai Jhana
2. Kalpa : Umur satu masa dunia

Senin, 14 September 2009

Dhammayatra Jawa Timur


LAPORAN
DHARMAYATRA KE JAWA TIMUR















Oleh
Saputro Edi Hartono
NIM: 0250106010196



SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG BANTEN
2009


HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kegiatan Dharmayatra ini telah disetujui dan disahkan pada tanggal
09 Juni 2009









Ketua panitia, Pembimbing,


Suyanto, S.Pd. Ir. Suhartoyo Pusaka Jati, M.M
NIP. 131677498 NIP. 080078464









KATA PENGANTAR

Berkat pancaran sinar cinta kasih Sang Tiratana, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil kegiatan Dharmayatra yang dilaksanakan oleh STAB Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten dengan baik tanpa ada suatu kendala apapun.
Laporan hasil kegiatan Dharmayatra ini disusun guna memenuhi tugas wajib bagi semua mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten yang bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dalam menghayati serta memahami makna sakral yang terdapat pada tempat-tempat suci agama Buddha, memperdalam keyakinan penulis dalam menjalankan hidup yang sesuai dengan Dharma, menciptakan kader-kader Buddhis yang berkualitas dalam membimbing umat Buddha. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua panitia pelaksana Dharmayatra ke Jawa Timur, dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, sehingga laporan ini dapat terselesaikan.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan serta kelemahan sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun agar laporan hasil kegiatan Dharmayatra ini menjadi lebih baik. Demikian laporan ini disusun agar dapat memberi manfaat bagi semua makhluk.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Sadhu…..sadhu…...sadhu

Tangerang, Juni 2009

Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Tujuan Dharmayatra 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar-Dasar Dharma yang Mendasari
Kegiatan Dharmayatra 3
B. Sejarah Objek Dharmayatra 4

BAB III PELAKSANAAN DHAMMAYATRA
A. Pelaksanaan Upacara Ritual 40
B. Hasil Pembelajaran Objek Dharmayatra 42
C. Hambatan Dharmayatra 42
D. Upaya Mengatasi Hambatan 43

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 44
B. Saran 44

LAMPIRAN 46
DAFTAR PUSTAKA 48


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam era kebangkitan, pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha menuju Buddha Jayanti saat ini membutuhkan kader-kader yang berpengetahuan luas, sehingga dapat membimbing masyarakat khususnya umat Buddha menjadi umat yang bijak.
Pengetahuan dan pengalaman lapangan bagi mahasiswa untuk kegiatan ritual sangat penting guna meningkatkan Saddha (keyakinan) serta tata cara ritual di tempat-tempat bersejarah dalam perkembangan agama Buddha, maka dari itu mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya mengikuti kegiatan Dharmayatra.
Dharmayatra adalah salah satu bentuk ritual yang berkembang dari kebutuhan umat dalam memberikan kesempatan menghormati tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan. Tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan tersebut terdapat beberapa hal yang melatarbelakanginya, di antaranya makam orang-orang suci, tempat menyimpan relik para arahat atau para suci, tempat bersejarah dalam perjalanan hidup Sang Buddha, tempat bersejarah dalam pembabaran Dharma, candi-candi dan lain-lain. Baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri merupakan tempat yang penting bagi umat Buddha. Hal ini dapat dijadikan motivator bagi umat dalam melaksanakan Dharma, sebagaimana sabda Sang Buddha “Hormati relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga”.

B. Tujuan Dharmayatra

Kegiaran Dharmayatra yang dilaksanakan oleh STABN Sriwijaya ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa STABN Sriwijaya dalam menghormati serta menghayati tempat-tempat yang disakralkan dalam agama Buddha,
2. Menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap mahasiswa STABN Sriwijaya dalam melaksanakan Dharma,
3. Mewujudkan dan menjadikan mahasiswa STABN Sriwijaya sebagai kader-kader generasi muda Buddhis yang berkualitas dalam membimbing umat dalam melaksanakan Dharma; serta
4. Memperbaiki dan meningkatkan mentalitas mahasiswa STABN Sriwijaya dalam beragama Buddha.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar-Dasar Dharma yang Mendasari Kegiatan Dharmayatra

Dasar-dasar yang mendasari kegiatan Dharmayatra yang dilaksanakan STAB N Sriwijaya ke Jawa Timur adalah dasar hukum dan dasar teologis. Dasar hukum antara lain:
1. Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Peraturan Presiden No. 76 tahun 2005 tentang penegrian STAB Sriwijaya Tangerang Banten.
3. Peraturan Menteri Agama RI No. 7 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja STAB N Sriwijaya Tangerang Banten.
4. Rancangan Statuta STAB N Sriwijaya.

Kegiatan Dharmayatra ini juga mempunyai dasar teologis yaitu Sabda-sabda Sang Buddha seperti:
1. “Hormati relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surge.” (Petikan Milinda Panha halaman 100).
2. “Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melaksanakan ziarah ke tempat-tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia, mereka akan terlahir kembali di alam Surga.” (Maha-Parinibbana Sutta).
3. “Demikian pula dapat dilaksanakan para Buddha yang telah mencapai Pari-nirvana, dapat pula dilihat stupa-stupa terbuat dari pada tujuh macam bahan untuk menempatkan sarira (relik) para Buddha yang didirikan setelah para Buddha mencapai Pari-nirvana.” (Petikan saddharma pundarika sutra hal.5)

B. Sejarah Objek Dharmayatra

1. Vihara Samaggi Jaya

Vihara Samaggi Jaya terletak di Jln. Slamet Riyadi No. 21 Blitar, Jawa Timur. Sebuah tempat ibadah Agama Buddha di Blitar, Jawa Timur yang indah dan terletak sangat strategis yaitu 400 m sebelah Selatan makan Proklamator Ir. Soekarno. Vihara ini adalah merupakan salah satu aset penting Sangha Theravada Indonesia. Disini dapat diperoleh informasi tentanglatar belakang umat Buddha di kota Blitar dan sekitarnya, juga tentang proses pembangunan sampai dengan peresmian Vihara Samaggi Jaya.
Perjalanan sejarah Vihara Metta Kirana ternyata membukakan pengertian yang lebih luhur dalam diri keluarga Bapak Suroto. Mereka bermaksud mempersembahkan Vihara ini kepada Sangha Theravada Indonesia. Dengan mengambil waktu yang peling tepat yaitu Hari Waisaka Puja 2532/1988, Vihara Metta Kirana dengan luas tanah 210 m2 serta bangunan 80 m2 terdiri dari satu ruangan yang difungsikan sebagai dharmasala dan satu ruangan yang sama besarnya untuk kuti, perpustakaan, ruang tamu, ruang makan dan sekaligus gudang secara resmi dipersembahkan kepada Sangha. Dalam kesempatan itu, Sangha Theravada Indonesia diwakili Yayasan Dhammadipa Arama menerima persembahan ini dengan mudita citta.
Setelah serah terima berlangsung, maka oleh Sanghanayaka Sangha Theravada Indonesia, Sri Pannavaro Thera (pada waktu itu), nama Vihara ini diganti menjadi VIHARA SAMAGGI JAYA, yang artinya PERSATUAN MEMBUAHKAN KEMENANGAN atau dalam bahasa Jawa sering dikenal sebagai ”Rukun Agawe Santoso”.
Pada awal pembangunan Vihara ini para umat Buddha bekerja bakti secara bersama-sama dengan sistem kekeluargaan. Pekerjaan pembangunan Vihara ini diadakan pembongkaran terlebih dahulu terhadap Vihara yang lama. Setelah pembangunan Vihara ini selesai maka diadakan penempatan Buddha rupang yang melibatkan banyak pihak. Setelah Vihara ini selesai dibangun kemudian diresmikan pada tanggal 09 September 1991 pada pukul 9 lebih 9 menit, 9 detik dan diresmikan oleh 9 orang Bhikkhu Sangha.
Di Vihara Samaggi Jaya terdapat juga ruangan Dharmasala, tempat serba guna, penginapan, kuti, dapur, kamar mandi, ruangan kelas Dharma dan perpustakaan. Pada dinding pagar terdapat ukiran yang mengisahkan tentang Dewi Mahamaya serta menceritakan mimpi Dewi Mahamaya, Pangeran Siddharta lahir, Pangeran melihat empat peristiwa, Pangeran meninggalkan istana, Pangeran meninggalkan harta benda, Pangeran memotong rambut di sebelah sungai Anom, Pangeran menjadi pertapa, Pangeran menyiksa diri, mencapai penerangan sempurna dan membabarkan Dharma kepada lima orang pertapa.

2. Museum dan Makam Bung Karno

Museum proklamator Bung Karno merupakan tempat perpustakaan dan koleksi-koleksi peninggalan Bung Karno. Museum ini terdiri dari tujuh bangunan utama yaitu:
a. Bangunan Utama
Terletak paling depan yang berada di tengah-tengah. Bangunan utama ini terdapat sebuah patung Bung Karno berukuran besar dan disisi kiri-kanan terdapat jalan menuju ke museum, bangunan koleksi dan perpusakaan serta bangunan penunjang.
b. Bangunan penunjang
Bangunan penunjang berada di sebelah kanan bangunan utama yang merupakan kantor.
c. Ampli Teather
d. Bangunan Koleksi Non Perpustakaan
Bangunan ini berada di sebelah kiri bangunan utama ddan di belakang bangunan Ampli Teather. Bangunan koleksi non perpustakaan banyak terdapat foto-foto perjuangan Bung Karno dan kawan-kawan dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dalam bangunan koleksi juga terdapat lukisan Bung Karno berukuran besar yang dibuat untuk memperingati satu abad Bung Karno pada tahun 2003. Konon cerita lukisan tersebut berdetak seperti detakan jantung manusia. Dalam bangunan koleksi juga terdapat benda-benda peninggalan Bung Karno seperti koper bersejarah.
e. Makam Bung Karno
Terletak di belakang bangunan utama. Bangunan makam selain terdapat makam Bung Karno juga terdapat dua makam lagi yaitu: makam ayah dan makam Ibu Bung Karno.
f. Makam Umum
Terletak di paling belakang komplek museum plokamator Bung Karno.




3. Candi Panataran

Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815. Lokasi candi Penataran terletak di lereng barat-daya gunung kidul, di desa Penataran, kecamatan Blitar. Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit disusul masuknya agama Islam, banyak bangunan suci agama Hindu-Buddha ditinggalkan oleh masyarakat.
Permulaan abad XIX, komplek percandian Penataran diteliti oleh para ahli yang dilakukan oleh Sir Tomas Stamford Raflles (1781-1826) yang mengadakan kunjungan ke candi Penataran. Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan penanganan candi Penataran lebih intensif.
Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12,946 meter berjajar dari barat-laut ke timur. Kelompok percandian terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu: halaman A, halaman B, dan halaman C. pada halaman B dahulu tertutup oleh diding tembok keliling namun sekarang sudah runtuh.
Susunan komplek percandian penataran mirip dengan susunan pura-pura di pulau Bali dimana bangunan di paling belakang adalah yang paling suci karena terdapat banngunan pusat atau bangunan induk yang mirip tempat bagi Dewa-dewa. Sebelum masuk komplek percandian terdapat dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) atau “Mbah Bodo” yang menarik dari kedua arca adalah pahatan angka tahun yang terdapat pada landasan arcanya. Angka tahun tersebut tertulis dalam huruf jawa kuno. Tahun 1242 Saka dalam tahun Masehi menjadi 1320. berdasarkan pahatan angka tahun kedua arca para sarjana berpendapat bangunan suci palah (candi Penataran) diresmikan pada kuil Negara pada zaman Raja Jaya Negara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1303-1328.
Disebelah timur kedua arca penjaga terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari gerbang bata merah. Di bagian terdapat halaman A masih dapat disaksikan enam buah bekas bangunan, dua buah tidak dapat dikenali. Bangunan-banngunan penting yang terdapat di halaman A adalah: Sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang disebut Bale Agung, bangunan bekas tempat pendeta, bangunan persegi empat disebut Pendopo Teras atau Batur Pendopo, bangunan berupa candi kecil yang disebut candi Angka Tahun. Bangunan yang terdapat dalam halaman B adalah: Dua buah arca dwaraphala, tujuh buah bangunan dimana enam buah tidak dapat dikenali dan satu buah disebut candi Naga. Sedangkan pada halaman C terdapat bekas pintu gerbang yang diduga oleh dua buah arca Dwaraphala, dua buah bangunan candi induk.
Disebelah selatan bangunan candi masih terdapat sebuah prasasti yang menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Isi prasasti menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Phala. Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya diluar komplek percandian, bangunan tersebut adalah berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi dan kolam pertitaan dengan ukuran kurang lebih 200 meter di arah timur laut komplek percandian.
Komplek percandian Penataran pada dinding terdapat relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias yang dipahatkan pada dinding bangunan. Pada bagian belakang arca dwaraphala, dinding kolam, dinding pendopo teras terdapat tulisan singkat dalam huruf jawa kuno yang diduga merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita. Relief-relief di komplek percandian penataran, antara lain:
a. Relief Sang Setyawan
Dinding sisi timur bangunan pedopo teras. Relief ini menceritakan seorang penduduk kayangan yang mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan segala pekerjaan. Suatu ketika sang setyawan menghadapi kerajaan Puspa Tan Alum, karena Raja terpikat atas sifatnya kemudian dijodohkan dengan putrinya pada suatu hari Sang Setyawan pergi menjadi pertapa.
b. Relief Sri Tanjung
Dinding sisi barat ke selatan bangunan pendopo teras. Relief ini menceritakan pangeran Sidapaksa seorang keturunan pandawa yang mengabdi pada Prabu Sulakrama di Negeri Sindurejo yang kemudian mempersunting Sri Tanjung.
c. Relief Buksah Gagang Aking
Dinding pendopo teras sisi timur. Relief ini menceritakan dua orang bersaudara yang bertapa untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
d. Relief Ramayana
Dinding teras pertama candi induk. Relief ini menceritakan Hanoman pemimpin kera yang diutus ke Alengka untuk mencari Sinta.
e. Relief Kresnayana
Di dinding teras kedua candi induk. Relief ini menceritakan pembatalan perkawinan dewi Rukmini dengan Suniti oleh Kresna.
f. Relief Pemburu yang Tertipu
Di dinding sisi utara kolam berangka tahun dan di belakang arca penjaga relief ini menceritakan pertolongan dari sang kancil pada kura-kura yang tertangkap si pemburu.

4. Panti Semedi Balerejo

Kegiatan panitia pembangunan Vihara Samaggi Jaya Blitar seakan tidak ingin berhenti. Setelah berhasil mendirikan Vihara Samaggi Jaya yang megah, kini membangun sebuah kompleks tempat latihan meditasi di sebuah bukit pada ketinggian 550 m di atas permukaan laut. Kompleks seluas hampir satu hektar (10.000 m2) ini dinamakan Panti Semedi BALEREJO. Dipilih nama ini karena tempat latihan meditasi tersebut terletak di desa Balerejo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur ± 30 km dari kota Blitar.
Di dalam Panti Semedhi Balerejo terdapat beberapa gua buatan yang berfungsi sebagi tempat untuk bermeditasi. Panti Semedhi ini sangat luas dan kelihatan sangat megah dan indah. Pemandangan di tempat itu masih kelihatan asri karena terletak jauh dari keramaian kota sehingga sangat cocok untuk bermeditasi. Bangunan-bangunan seperti kuti yang berfungsi untuk tempat tinggal para Bhikkhu.
Pembangunan telah dimulai sejak 09 September 1990 bersamaan dengan pembangunan Vihara Samaggi Jaya, Blitar. Kini, Panti Semedi BALEREJO telah tampak wujudnya. Pembangunan yang didukung dananya oleh seluruh umat Buddha di Indonesia ini menambah jumlah keberadaan vihara megah Sangha Theravada Indonesia.
Pati Semedi BALEREJO dengan latar belakang gunung ”Putri Tidur” ini memiliki keunikan. Di sini dapat ditemukan Dhammasala terbuka, satu-satunya di Indonesia. Selain itu, terdapat pula ruang serbaguna, ruang-ruang meditasi sendiri ataupun bersama. Juga, beberapa kuti sebagai tempat tinggal para bhikkhu yang sedang melatih diri ataupun memberikan bimbingan meditasi.
Kiranya, sudah saatnya bagi kita untuk menyisihkan waktu agar dapat melatih diri, mengembangkan batin dalam meditasi. Ketenangan batin akan melengkapi kebutuhan badan yang selalu kita usahakan dari hari kehari. Untuk itulah, Patin Semedi BALEREJO dibangun.

PETA PANTI SEMEDI BALEREJO

5. Padepokan Dhammadipa Arama

Padepokan ini terlatak di Jln. Mojokerto No.44 Batu Malang. Padepokan Dhammadhipa Arama dalam muri sejarah ini mulai pada bulan Mei tahun 1971. Pada waktu itu Y.M. Bhante Win datang ke Malang beliau berbincang-bincang dengan tokoh umat Buddah di daerah itu termasuk Bapak Jamal Bakir yang sekarang sebagai Bhikkhu Khantidaro Mahathera, bagaimana cara untuk memiliki suatu Vihara di Malang yang tempatnya tidak ramai, mudah dijangkau, dan tidak terganggu kebisingan kota.
Pada waktu itu atas kemurahan hati YM. Somdetphra Nansamvara yang memberikan dana serta Rp 202.400 segera dicarikan tanah untuk lokasi Vihara yang akan dibangun, pada tanggal 5 Juli 1971 YM. Bhante Win, Bapak Jamal Bakir, Ibu Dharma Niyani Jamal Bakir datang ke tempat yang rencananya akan dibangun Vihara, mereka berbincang-bincang mengenai tanah yang sebelumnya sudah dirintis luas tanah 4.400 m. Harga tanah Rp 75 permeter.
Pada tanggal 15 Agustus 1971 diadakan upacara peletakan batu pertama Dharmasala dibangun dari bambu (tiang, dinding, reng, usuk) atap genteng lantai dari papan pohon randu. Pada tanggal 19 September 1971, pembangunan Dharmasala dan kuti untuk Bhikkhu telah selesai. Oleh karena bangunan terbuat dari bambu maka nama yang diberikan adalah Win Veluvana Arama. Ditanah sekeliling bangunan ini banyak ditanami pohon bambu. Rupang Buddha dengan altar yang ada di dalam Dharmasala saat itu merupakan sumbangan dari umat Thailand yang didanakan pada bulan September 1971. Pada tanggal 6-15 Desember 1972 diadakan Meditasi Vipassana pertama dipimpin oleh YM. Bhante Girirakkhito.
Pada tanggal 25 Februari 1973 saat malam hari sekitar pukul 03.00 Vihara didatangi oleh perampok. Perampok mengambil Buddha rupang yang ada di Dharmasala. Para umat prihatin dengan kejadian itu, sehingga mereka membacakan parita-parita, lima hari kemudian patung ini ditemukan di toko antik di Surabaya.
Akibat kejadian ini Vihara dapat dikenal banyak orang karena surat kabar memuat berita tersebut. Setelah kejadian itu nama Win Veluvana Arama diganti menjadi Dhammadipa Arama. Nama itu atas usulan dari Somdet Phra Nansamsara. Pada waktu itu juga datang 6 Bhikkhu dari Thailand. Dharma berarti ajaran Sang Buddha, Dipa berarti pelita, dari Vihara inilah kemudian Dharma bersinar, berkembang Arama berarti hutan. Jadi Dhammadipa Arama merupakan satu Vihara yang mempunyai taman-taman besar itu memberikan ladang penerang sehingga banyak orang yang datang memberikan dana atau penerangan, mereka datang untuk belajar sampai saat ini. Vihara ini menjadi pusat meditasi, jumlahnya sudah mencapai lebih dari ribuan orang, Yayasan Dhammadhipa Arama berdiri pada tanggal 6 Juli 1976.
Sejak tahun 1992 YM. Khantidaro menetapkan Padepokan Dhammadhipa Arama dicanangkan sebagai tempat pelatihan meditasi. Setiap saat yang mengikuti rata-rata mencapai 300-400 orang pertahun. Areal Vihara pun berkembang begitu luas, ada 8 kali pengembangan, saat ini luas tanah sekitar 2,5 hektar (lebih dari 2500 meter) terdapat bangunan 50 kamar untuk peserta meditasi laki-laki dan perempuan, Kuti Bhikkhu ada 9, serta bangunan-bangunan lain yaitu Uposathagara yang dibangun untuk pentahbisan para Bhikkhu, diresmikan pada tanggal 28 November1997, mulai tahun 1998 tiap-tiap dua tahun sekali diadakan upacara pentahbisan para bhikkhu.
Pada tanggal 5 Agustus 2001, diresmikan Musium Dharmadasa oleh Bapak Cornelis Wowor, mewakili Dirjen Hindu Buddha. Ide pembangunan musium ini berasal dari pemikir YM. Bhikkhu Khantidaro setelah melihat musium yang ada Guang San, Taiwan, pada saat itu peresmian yang dilakukan peletakan batu pertama bangunan Patirupaka Pagoda Shwedagon. Ide pembangunan Pagoda timbul tahun 2000, waktu itu YM. Bhikkhu Khantidaro pergi ke Myanmar untuk meditasi. Pada suatu kesempatan beliau berbincang-bincang dengan pejabat pemerintahan di Myanmar, beliau meminta izin membangun Pagoda di Indonesia, jika diizinkan beliau merasa sangat bahagia, pihak pemerintah Myanmar pun menyambut ide itu. Pagoda yang dipilih adalah Shwedagon Pagoda oleh karena itu di Padepokan Dhammadipa Arama disebut Patirupaka Shwedagon Pagoda yang berarti tiruan dari Shwedagon Pagoda. Masyarakat Myanmar pun sangat antusias membantu pembangunan Patirupaka Shwedagon. Pada tanggal 07 Desember 2003, Pagoda selesai dibangun. Padepokan Dhammadipa Arama, menerima penghargaan dari MURI (Musium Rekor Indonesia) tercatat Pagoda pertama di Indonesia.
Padepokan Dhammadipa Arama terus mengadakan pembangunan setelah mendapatkan sumbangan rupang Sang Buddha yang sangat besar dari Myanmar. Maka dibangunlah Dharmasala Lumbini. Rupang dibuat 200 tahun yang lalu dengan berat 2,5 ton dan terbuat dari batu marmer. Dharmasala Lumbini diresmikan pada tanggal 28 Oktober 2007 sekaligus merayakan Kathina. Acara peresmian dimulai pukul 10.00 dengan dibuka tarian khas batu sebagai bentuk penghormatan.
Melihat begitu lengkapnya sarana dan prasarana yang ada di Padepokan Dhammadipa Arama, maka sudah sepantasnya Padepokan Dhammadipa Arama disebut Vihara multi fungsi. Padepokan Dhammadipa Arama merupakan tempat kebaktian umat, musium tempat belajar, tempat wisata religius, tempat atau pusat pelatihan meditasi, serta sebagai pusat pendidikan.
Bangunan-bangunan tersebut yaitu Padepokan Dhammadipa Arama, Patirupaka Shwedagon Pagoda, Musium Dharmadasa, Perpustakaan. Patirupaka Shwedagon diresmikan pada hari Minggu tanggal 7 September 2003, oleh duta besar dari Myanmar yaitu HE. U. Kyam My, NE, menteri agama Drs. H. Said Abil Husin Munawar M.A, Bhikku Dharma Subha Thera dan Gubenur Jawa Timur yaitu H. Imam Utamo. Di Shwedagon ini terdapat altar yang berdasarkan hari kelahiran seseorang untuk melakukan puja bhakti. Di bagian bawah bangunan ini terdapat pula berbagai macam altar yang berasal dari negara-negara lain. Ditempat ini pula terdapat musium Dharmadasa yang diresmikan pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 2001 (Rawi 16 Savana 2545 BE) oleh Dirjen Bimas Hindu Buddha Departemen RI yaitu Drs. I. Wayan Suarjaya, Msi.
6. STAB Kertarajasa

Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa terletak di Jl. Raya Mojokerto 44, PO BOX. 39 Batu 65301 Jawa Timur. Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa memiliki fasilitas diantaranya:
a. Gedung milik sendiri,
b. Perpustakaan,
c. Laboratorium komputer dengan akses internet,
d. Gedung Aula yaitu gedung graha Kertarajasa,
e. Perangkat gamelan sarana pengembangan seni budaya.

Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa memiliki Visi, Misi dan Tujuan, yaitu:
a. Visi
Terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Buddhist yang berkualitas professional dan religious sesuai dengan Dharma untuk mengemban tugas mulia memajukan kehidupan bangsa Indonesia.

b. Misi
Mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian masyarakat) serta mengembangkan Buddha Dharma sebagai “Way of life” dan “Way of Thinking” bagi masyarakat Buddhist.
c. Tujuan
1. Berperan secara aktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
2. Menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) Buddhist yang terdidik untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam menunjang perkembangan agama Buddha,
3. Menampung lulusan SMU/SMK yng berminat menempuh pendidikan agama Buddha secara khusus,
4. Menyiapkan tenaga guru agama Buddha serta Dharmaduta yang handal dan professional.

PETA STAB KERTARAJASA



7. Stasiun Dhamma TV

Sejarah berdirinya Dhamma TV dilatarbelakangi penyebaran Buddha Dharma di Indonesia masih sangat terbatas. Jumlah bhikkhu, romo dan ramani yang belum memadai jumlah umat, kurangnya sarana.sarana pendukung sebagai layanan informasi tentang Dharma. Keterbatasan tersebut ternyata tidak menyurutkan semangat para bhikkhu, romo dan ramani untuk berjuang mengembangkan Buddha Dharma. Salah satu bhikku yang turut berjuang dalam pengembangan Buddha Dharma adalah Y.M Dhamma Vijjayo Maha Thera.
Kiprah beliau dalam mengembangkan Buddha Dharma salah satunya adalah mendirikan stasiun radio dan stasiun TV yang diberi nama stasiun Dhamma TV, yang didirikan di kota Malang. Tepat pada tanggal 15 Januari 2006 meskipun dengan peralatan sederhana dan sumberdaya manusia yang seadanya Dhamma TV resmi mengudara walaupun terbatas di kota Batu dan Malang.
Setelah pembangunan pemancar dan bangunan master control serta transmitter selesai, kantor, sekretariat dan studio Dhamma TV dipindahkan ke vihara Padma Graha di jalan Imam Bonjol atas no. 57 Batu. Untuk menunjang hasil siaran yang lebih baik dilakukan penambahan alat seperti pemancar, computer untuk video editing, kamera, mexer audio video. Pada tanggal 6 Januari 2008 kantor Dhamma TV dipindahkan dari vihara Padma Graha ke kantor baru yang di komplek ruko jalan Ciliwang 57 E Malang.
Dhamma TV menghadirkan beberapa program acara yang berkaitan dengan realita kehidupan di masyarakat. Siaran Dhamma TV telah memperoleh banyak perhatian pemirsa. Acara-acara yang telah disajikan Dhamma TV, antara lain:
a. Dhamma Talk
Mengedepankan berbagai makna dan kandungan falsafah hidup secara universal, menghapus problematika dan solusi dari segala masalah aspek kehidupan.
b. Program Talk Show
Merupakan diskusi yang membahas fenomena-fenomena masarakat dengan tujuan dapat memberikan setitik pencerahan bagi masyarakat.
c. Program khas, seperti: acara dami dihati.
d. Program hiburn: sineas dharma menajikan film-film yang menarik dan mempunyai makna falsafah kehidupan agar dapat diambil hikmahnya.
e. Program dialog intraktif, yang dilakukan secara langsung (live)
f. Program budhaya: jelajah religi
g. Program keagamaan: bingkai dharma menayangkan acara ritual keagamaan yang mengandung nilai-nilai sepiritual dan kebudayaan
h. Program sosial: Bodhicitta
Acara kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat yang membutuhkan uluran kasih terhadap sesama.

Melalui program-program diatas Dhamma TV tampil beda menjadi media edukasi, etika, moral, social, kebudayaan serta spiritual yang universal yang menyoroti realita kehidupan manusia.

8. Stupa Sumberawan

a. Letak Stupa Sumberawan
Stupa Sumberawan berada di Desa Sumberawan Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Posisi sebenarnya berada ± 6 km dari Kabupeten Malang arah barat laut kota Kecamatan Singosari. Daerah di sekitar Stupa Sumberawan merupakan hutan pinus di kaki Gunung Arjyuna sisi selatan. Letaknya ± 650 m di atas permukaan laut. Di sisi selatan Stupa Sumberawan terdapat telaga yang airnya jernih. Air sumber yang melimpah itu sekarang dimanfaatkan untuk air minum oleh Pemda Kabupaten Malang dan sebagian untuk mengairi sawah penduduk.
b. Nama Stupa Sumberawan
Nama Sumberawan yang diberikan kepada satu-satunya Stupa yang ada di daerah tersebut diduga berasal dari nama desanya, yaitu Sumberawan. Tetapi ada juga yang menganalisa lebih jauh, nama Sumberawan diduga berasal dari kata sumber dan Rawan (telaga). Karena di dekat stupa tersebut banyak didapat sumber air yang terkumpul kepada sumber yang paling besar dan membentuk Rawn (telaga). Penduduk setempat menyebutnya Candi Rawan (Candi Telaga).
c. Sejarah Penemuan Stupa Sumberawan
Siapa yang menemukan bangunan stupa tersebut untuk pertama kalinya sulit untuk diketahui. Akan tetapi yang jelas penemu pertama tentunya penduduk pribumi setempat yang kemudian melaporkan kepada pemerintahan Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1904 baru disebut-sebut oleh orang Eropa (Belanda). Pada tahun 1928 dan 1935 mendapat perhatian dan ditinjau untuk diadakan pembinaan kembalui. Demikianlah maka akhirnya diadakan penggalian, kemudian dilakukan perencanaan dan pembangunan kembali yang selesai tahun 1937. Pembinaan kembali itu dipimpin oleh seorang ahli purbakala dari jawatan purbakala Hindia Belanda yaitu Ir. Van Romondt.
d. Sejarah Stupa Sumberawan
Menurut cerita, bentuk stupa berasal dari India. Yaitu ada dua orang yang termasuk penganut-penganut pertama agama Buddha diberi “tanda mata” oleh Sang Buddha untuk dikenang dan dipuja berupa potongan kuku dan rambut. Disuruh menyimpan di dalam stupa. Waktu ditanya apakah stupa itu? Sang Buddha membuka pakaiannya, lalu dilipatnya pakaian itu sebagai alas, ditarusnya mangkoknya terbalik, dan diatasnya lagi didirikan tongkatnya. Itulah bentuk yang harus diberikan kepada bangunan stupa. Demikianlah, maka stupa itu berupa bangunan yang berbentuk kubah yang terdiri atas sebuah lapik segi empat, dan di atasnya diberi paying (tanda kehormatan/lambangkahyangan). Bentuk paying itu kadang terbuka dan kebanyakan tertutup.
Dalam perkembangan selanjutnya stupa itu mempunyai 4 (empat) fungsi, yaitu:
1. Sebagai penyimpanan tulang belulang atau abu jenazah dari Sang Buddha, dan nantinya para Arahat dan para Bhiksu. Stupa yang demikian disebut DHATUGARBHA (DAGOBA).
2. Sebagai penyimpan benda-benda suci yang berasal Dario diri atau pemilik Sang Buddha, Arahat atau Bhiksu. Benda-benda semacam disebut relik (misalnya: kuku, rambut, jubah, dan sebagainya).
3. Sebagai tanda peringatan di tempat-tempat terjadinya sesuatu peristiwa penting dalam hidup Sang Buddha.
4. Sebagai lambing suci agama Buddha pada umumnya, dan hal ini bagi penganut-penganut Buddha dianggap sebagai monument yang bertuah atau berkekuatan gaib. Oleh orang yang saleh stupa seperti itu sianggap sebagai benda guna memusatkan Samadhi.

Sedangkan dipandang dari bentuk teknisnya, stupa dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Stupa yang merupoakan bagian dari sesuatu bangunan, misalnya sebagai puncak. Hal ini kita dapati seperti pada Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Plaosan dan sebagainya.
2. Stupa yang terdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap, misalnya kita dapati pada Candi Dadi (Tulungagung), Muara Takus (Sumatra) dan Stupa Sumberawan.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok sebagai bangunan pengiring seperti terdapat di Candi Plaosan (halamanya) dan Candi Banyunibo (Selatan dataran Ratu Boko).

e. Uraian Bangunan Stupa Sumberawan
Stupa sumberawan dapat kita uraikan secara singkat, karena ia termasuk golongan bangunan yang bentuknya sederhana dan dengan demikian mudah dibuat iktisarnya, seperti berikut:
Di atas tingkat bawah (Batur) yang empat persegi terdapat kaki yang bentuknya empat persegi pula dengan penampilan pada tiap-tiap sisi. Di atas itu berdirilah stupa yang sebenarnya, yang terdiri atas sebuath lapik bujur sangkar, kaki segi delapan dengan bantalan seroja/teratai sebagai lambing kahyangan, dan tubuh yang berbentuk genta. Atasnya (puncaknya) tidak dipasang kembali karena menemui kesulitan pada waktu pemugaran tahun 1937. Diduga bahwa puncak stupa itu adalah sebuah “pucuk”. Bagaimana bentuk pucuk itu tidak diketahui sebab tidak terdapat sisa-sisa di sekitarnya yang berbentuk pucuk semacam paying tertutup.
Bangunan suci ini tidak memiliki hiasan atau ukiran. Tidak ada tangga naik atau barang sesuatu yang lain yang menunjukkan bahwa bangunan itu dapat dinaiki. Selanjutnya penyelidikan memberikan kepastian bahwa bidang berbentuk genta itu tidak memiliki rungan di dalamnya untuk meyimpan CARIRA (benda suci) maupun apapun juga. Stupa Sumberawan tidak dapat kita ketahui bentuk puncaknya. Apakah berbentuk paying tertutup atau berbentuk bulatan setengah bola.
f. Fungsi Stupa Sumberawan
Sesuai debngan penelitian dan penggalian waktu itu (tahun 1935-1937), tidak ditemukan benda-benda apapun di dalam bangunan stupanya maupun di bawah tanah. Dan memang di tubuh dtupa itu tidak didapatkan rongga atau ruangan di dalamnya, sehingga fungsinya tidak dapat dikatakan sebagai tempat penyimpanan tulang-belulang dan abu jenazah para Bhiksu atau tidak dapat disebut sebagai Datugarbha (Dagoba). Jika tidak dipakai sebagai penyimpanan relik dari Arahat maupun Bhiksu. Dengan demikian fungsi Stupa Sumberawan, jika kita berorientasi kepada 4 fungsi stupa, tinggal 2 kemungkinan, yaitu:
1. Sebagai tanda peringatan tempat terjadinya peristiwa penting yang berhubungan dengan Sang Buddha.
2. Sebagai lambing suci agama Buddha yang dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib.

Untuk kemungkinan yang ketiga tentunya tidak mungkin, sebab peristiwa yang menyangkut diri Sang Buddha tempatnya di India. Kemungkinan yang mendekati analisa positif adalah kemungkunan terakhir yaitu sebagai lambing suci agama Buddha yang dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib.
g. Kapan Stupa Sumberawan Didirikan
Tidak diketahui dengan pasti bangunan ini didirikan. Menurut para ahli diduga bangunan ini didirikan sekitar abad XIV M. bahkan ada yang menduga bahwa daerah ini dahulunya yang bernama KASURANGGANAN, yaitu daerah yang pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada tahun 1359, ketika ia pergi ke Singosari. Hal ini diberitakan dalam Kitab NEGARAKERTAGAMA karangan Empu Prapanca yang disebut pada pupuh 35 bait ke 4, yaitu seperti berikut:
“….sebabnya terburu-buru berangkat, setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di Balaikota Singasari sehabis menyekar di candi makam, nafsu kesukaan bermanja-manja mengisap sari pemandangan di Kedungbiru Kasurangganan dan Bureng”

Alternatif penamaan Kasurangganan yang diidentikkan dengan daerah Sumberawan sekarang karena daerah yang disebut di atas yaitu Kedungbiru dan Bureng masing-masing terletak di selatan daerah Sumberawan. Kedungbiru sekarang berubah menjadi Dukuh Mbiru, sedangkan Bureng diduga berada di sebelah utara desa Karangploso.

9. Pusat Informasi Majapahit

Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang merupakan satu-satunya Situs perkotaan di Indonesia yang dibangun didataran ujung penghabisan tiga jajaran gunung yaitu: gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro. Pada tanggal 24 April 1924 R.A.A. Cromodjojo Adinegoro salah seorang Bupati Mojokerto, bekerja sama dengan Ir. Hendry Maclaine Pont seorang arsitek Belanda mendirikan Oudheeidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) yaitu suatu perkumpulan yang bertujuan untuk meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. OVM menempati sebuah rumah di Situs Trowulan yang terletak di Jln. Raya Mojokerto (Jombang) km 13 untuk menyimpan Artefak-artefak yang diperoleh melalui penggalian, surve maupun penemuan secara tidak sengaja. Mengingat banyaknya Artefak yang layak untuk dipamerkan maka direncanakan untuk membangun sebuah Museum yang terealisasi pada tahun 1926 dan dikenal dengan nama Museum Trowulan.
Pada tahun 1924 Museum ditutup untuk umum karena Maclaine Pont ditawan oleh Jepang. Sejak itu Museum berpindah-pindah tangan dan akhirnya dikelolah oleh Balai Pelestarian Purbakala Jawa Timur. Tugas kantor tersebut tidak hanya melaksanakan perlindungan terhadap benda cagar budaya Majapahit saja, tetapi seluruh peninggalan kuno yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu koleksinya semakin bertambah banyak. Untuk mengatasi hal tersebut Museum dipindahkan ke tempat yang lebih luas berjarak kurang lebih 2 Km dari tempat semula, namun masih di Situs Trowulan. Museum baru tersebut sesuai dengan struktur organisasinya disebut sebagai Balai Penyelamatan Arca, namun masyarakat tetap mengenalnya sebagai Museum Trowulan. Pada tahun 1999 koleksi Prasaseti peninggalan R.A.A Kromodjojo Adinegoro dipindahkan dari Gedung Arca Mojokerto ke Museum Trowulan, sehingga koleksi Museum Trowulan semakin lengkap. Berdasarkan fungsinya, Museum Trowulan kemudian diberi nama sebagai Penyelamatan Arca Bp3 Jatim. Mengingat akan butuh informasi yang semakin meningkat dari masyarakat tentang Majapahit maka namanya diubah menjadi Pusat Informasi Majapahit (PIM). Walaupun terjadi perubahan pada prinsipnya secara signifikan, yaitu sebagai sejarah Museum dan Balai Penyelamat Beda Cagar Budaya di Jawa Timur. Setiap tahunnya bangunan ini semakin bertambah karena cagar budayanya semakin banyak.
Koleksi Museum yang terdapat di Pusat Informasi Majapahit didominasi oleh benda cagar budaya peninggalan Majapahit. Melalui peninggalan-peninggalan tersebut terdapat beberapa aspek budaya Majapahit dapat dikaji lebih lanjut, seperti di bidang pertanian, irigasi, arsitektur, perdagangan, perindustrian, agama, dan kesenian. Keseluruh koleksi tersebut ditata di gedung, pendopo maupun halaman Museum. Bahan koleksi Museum Trowulan dipamerkan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian: koleksi tanah liat, koleksi keramik, logam, batu.
a) Koleksi Tanah Liat
Koleksi Tanah Liat terdiri dari Koleksi Terakota Manusia, Alat-alat Produksi, Alat-alat Rumah Tangga, Arsitektur.
b) Koleksi Keramik
Koleksi keramik yang dimiliki oleh Pusat Informasi Majapahit berasal dari beberapa Negara asing seperti Cina, Thailand dan Vietnam. Keramik tesebut memiliki berbagai bentuk dan fungsi, seperti guci, teko, piring, mangkuk, sendok dan vas bunga.
c) Koleksi logam
Koleksi Benda Cagar Budaya berbahan logam yang dimiliki Pusat Informasi Majapahit dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok, seperti koleksi mata uang kuna, koleksi alat-alat upacara seperti bokor, pedupaan, lampu, cermin, guci, genta dan koleksi alat musik.
d) Koleksi Batu
Koleksi Benda Cagar Budaya yang berbahan batu berdasarkan jefnisnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: Koleksi Miniatur dan komponen candi, koleksi Arca, Koleksi Relief, Koleksi Prasasti. Koleksi Benda Cagar Budaya yang berbahan batu yang dimiliki oleh Pusat Informasi Majapahit juga terdapat alat-alat dan fosil binatang dari masa prasejarah.

10. Gapura Bajangratu

Gapura Bajang Ratu terletak di desa Temon, kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto. Dilihat dari bentuknya gapura ini merupakan bangunan pintu gerbang tipe “Paduraksa” yaitu gapura yang memiliki atap. Bahan utamanya adalah bata. Kecuali lantai tangga serta ambang pintu yang dibuat dari batu andesit. Denah bangunan berbentuk segi empat berukuran 11,5x10,5 m, tingginya 16,5 m dan lebar lorong pintu masuk 1,40 m. Secara vertical, gapura Bajang Ratu dapat dibagi tiga bagian yaitu kaki, tubuh dan atap.
Selain itu gapura mempunyai sayap dan pagar tembok di kedua sisinya. Pada kaki gapura terdapat hiasan panil yang menggambarkan cerita “Sri Tanjung”, di bagian atas tubuh terdapat ambang pintu yang di atasnya terdapat hiasan kala dengan hiasan sulur-suluran. Sedangkan bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat dengan puncak berbentuk persegi. Pada atap tersebut terdapat hiasan berupa: Kepala kala diapit singa, Relief Matahari, Naga berkaki, Kepala garuda dan Relief bermata satu atau monocle cyclop. Relief-relief ini mempunyai fungsi sebagai pelindung atau penolak marabahaya. Pada sayap kanan garuda terdapat dinding berbentuk panil sempit dihias dengan relief cerita Ramayana yang digambarkan dengan perkelahian raksasa melawan kera. Bingkai kanan kiri pintu diberi pahatan berupa binatang bertelinga panjang. Nama Bajangratu pertama disebut dalam Oudheikunding Verslag (OV) tahun 1915.
Menurut para ahli yang telah menemukan penelitian bangunan ini, gapura Bajangratu dihubungkan dengan wafatnya raja Jayanegara pada tahun 1328. Dalam kitab Pararaton disebutkan Jayanegara wafat pada tahun 1328 “Sira ta dhinarmeng kapopongan, bhisaka ring Crnggapura pratista ring Antawulan”. Menurut Crom Crngggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsari dalam Nagarakertagama. Sehingga disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) raja Jayanegara berada di Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura. Pratistanya (bangunan suci) berada di Antawulan atau Trowulan. Dengan demikian fungsi gapura Bajangratu diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya raja Jayanegara yang dalam Nagarakertagama disebut kembali ke dunia Wisnu 1328 saka. Dugaan ini didukung oleh adanya relief Sri Tanjung dan sayap garuda yang mempunyai arti sebagai lambang penglepasan. Masa pendirian gapura ini tidak diketahui dengan pasti, namun berrdasarkan relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang dan relief naga diperkirakan gapura Bajangratu berasal dari abad XII-XIV. Sejak didirikan, gapura Bajangratu ini belum pernah dipugar, kecuali usaha-usaha konsolidasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1915. Pada tahun 1989 gapura Bajangratu mulai dipugar dan selesai tahun 1992.

11. Candi Tikus

Candi Tikus terletak di Desa Temon, Kec. Trowulan, Kab. Mojokerto, Candi Tikus merupakan bangunan pertirtaan. Disitu terdapat minitur Candi di tengah bangunan yang melambangkan gunung Mahameru tempat para Dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air yang mengalir dari pancuran-pancuran atau jaladwara yang terdapat disepanjang kaki Candi. Air ini dianggap sebagai air suci Amrta sumber segala kehidupan.
Candi Tikus ditemukan tahun 1914 oleh seorang penduduk yang kemudian melaporkan penduduk kepada Bupati Mojokerto saat itu R.A.A. Kromodjojo Adinegoro. Penemuan tersebut berawal dari laporan penduduk bahwa daerah tersebut terjangkitnya wabah Tikus yang bersarang disebuah gundukan. Ketika gundukan tersebut dibongkar ternyata terdapat sebuah Candi yang kemudian Candi tersebut diberi nama Candi Tikus. Karena sejarah penemuan inilah hingga saat sekarang ini banyak petani baik disekitar daerah Mojokerto maupun luar kota yang sawahnya terserang hama tikus datang ketempat ini untuk memperoleh air Candi yang dipercaya dapat mengusir hama tikus.
Bahan bagunan Candi didominasi oleh batu bata, sedangkan batu andesit digunakan untuk pancuran. Dinding Candi Tikus dibuat teras untuk menahan tanah sekitarnya. Pada dinding bagian bawah serta batur Candi ini terdapat pancuran yang sejumlah 46 buah. Candi ini diduga dulunya digunakan sebagai tempat pemandian karena ditemukan ada kolam dan disampingnya terdapat pancuran. Seluruh pancuran tersebut dulunya mendapatkan pasokan air melalui saluran yang terdapat dibagian belakang Candi Induk, sementara saluran pembuangan terletak dilantai dasar. Pada bagian kaki Candi terdapat saluran air tertutup yang berfungsi sebagai pemasokkan air kepancuran sepanjang kaki Candi. Bagian luar kaki Candi terdapat menara Semu yang berjumlah lima buah. Diatas tubuh Candi terdapat empat buah menara terletak disetiap sudut. Menara yang paling besar berdiri ditengahnya, tetapi puncak menara itu telah hilang sehingga tidak diketahui dengan pasti bentuknya. Menara-menara ini melambangkan gunung Mahameru sebagai pusat makro kosmos.

12. Situs Kedaton

Situs kedaton terletak di Dusun Kedaton, Desa Sentono Rejo, Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Situs ini dapat ditempuh dari Balai Penyelamatan Arca melalui jalan Kecamatan kearah selatan pada jarak satu setengah meter dari Balai Penyelamatan Arca terdapat jalan desa yang mengarah ke barat sejauh 150 m. Lokasi Situs Kedaton berada ditanah dataran dengan ketinggian 41,11 m dipermukaan air laut. Situs ini yang terdiri dari beberapa bangunan :
a. Bangunan I: Merupakan sebuah bangunan bentuknya segi empat berukuran panjang 12,6 m, lebar 9,5 m, serta tinggi bagian yang tersisa 1,8 m dari permukaan tanah. Bagian sudut dan tengah sisi dinding luar terdapat bentuk pilaster, yang berfungsi sebagai Ornamen hiasan juga sebagai penguat dinding. Bangunan ini mempunyai arah barat dengan azimut 279 didepan bangunan ini terdapat sebuah sumur kuno yang terbuat dengan susunan bata yang berbentuk persegi empat. Sumur ini berfungsi untuk kebutuhan air minum maupun untuk kepentingan Ritual masyarakat tertentu yang percaya, sebelum bersamadhi disumur Upas, harus mensucikan diri dengan air yang berasal dari sumur kuno tersebut.
b. Bangunan II: Komlek bangunan yang belum diketahui dengan pasti arah hadapnya, namun bedasarkan bangunan I yang mengarah ke barat diperkirakan bangunan ini mempunyai pintu masuk dengan arah hadap yang sama. Penamaan sumur Upas diambil dari bangunan semacam lubang yang terdapat ditengah gugusan, oleh masyarakat dinamakan dengan sumur Upas. Dalam cerita masyarakat setempat sumur Upas ini merupakan suatu rahasia menuju ketempat yang aman dari Raja apabila diserang oleh musuh. Untuk menghalangi agar tidak semua orang berani memasukinya, maka jalan rahasia diberi nama sumur Upas. Struktur ini saling tumpang tindih yang menandakan bahwa bangunan ini pernah dihuni manusia dalam beberapa masa yang berlainan. Selain itu terdapat temuan-temuan berupa pecahan gerabah dan keramik Asing (Cina), disertai dengan Fragmen arca, diduga sebagai tempat pemukiman. Dari hasil penelitian ditemukan 4 buah kerangka manusia pada bangunan I dan sebuah di dekat sumur Upas. Dari penelitian kerangka tersebut berjenis kelamin Wanita, sedangkan yang di dekat sumur Upas berjenis kelamin Pria. Adapun temuan kerangka manusia yang berbeda konteks dengan temuan sekitar, menunjukkan situs ini mengalami fungsi yang berbeda dari sebelumnya.

13. Candi Brahu

Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Seperti bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Trowulan Candi Brahu terbuat dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapannya ke barat dengan azimuth 2270. ukuran bangunan: tinggi 25,7 meter, serta lebar 20,70 meter.
Struktur bangunan Candi terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Kaki Candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh serta bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki Candi diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17 meter. Dengan demikian struktur kaki yang tampak sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan selarasnya serta tangga disisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas. Bagian tubuh candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan belanda.
Denah candi Brahu berukuran 10 x 10,50 meter dan tinggi 9,6 meter. di dalamnya terdapat bilik berukuran 4 x 4 meter, namun kondisi lantainya telah rusak. Atap candi Brahu tingginya kurang lebih 6 meter. pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk Stupa. Berdasar gaya bangunan candi terseut bersifat Buddhis. Selain itu diperkirakan candi Brahu umurnya lebih tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di Situs trowulan. Dasar dugaan ini adalah Prasasti Alasanta yang ditemukan tidak jauh dari candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861 Saka atau 939 Masehi, di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu Waharu atau Warahu. Nama inilah yang diduga sebagai asal nama candi Brahu sekarang. Candi Brahu dipugar pada tahun Anggaran 1990/1991 s/d 1994/1995.

14. Mahavihara Majapahit

Mahavihara Majapahit terletak di Jln. Candi Brahu 1, Ds. Bejijong, Kec. Trowulan, Kab. Mojokerto. Mahavihara Majapahit terdapat banyak sekali rupang Buddha yang sedang berdiri yang terletak di teras samping kanan dan kiri memasuki Vihara tersebut. Disana juga terdapat Buddha rupang saat Parinirvana yang sangat besar sekali. Mahavihara ini juga terdapat banyak sekali ruang penginapan yang berfungsi untuk menginap para tamu-tamu yang berkunjung ke Vihara tersebut. Selain penginapan masih banyak lagi bangunan-bangunan seperti kamar mandi, dapur. Letak Mahavihara Majapahit tersebut sangat luas. Mahavihara Majapahit katanya adalah peninggalan dari kerajaan Majapahit dan merupakan Vihara yang paling besar dibandingkan dengan Vihara-vihara yang ada di Kec. Trowulan.
Mahavihara Majapahit merupakan Vihara yang fasilitas sangat memenuhi. Vihara ini terletak didesa yang sangat jauh dari keramaian kota sehingga para peserta Dharmayatra ketika berkunjung disana harus berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit. Para peserta Dharmayatra setiba disana langsung mandi Selama 30 menit. Setelah selesai mandi kemudian melaksanakan Puja Bakti yang dihadiri oleh Bhikkhu. Selesai puja bakti para peserta Dharmayatra makan malam di Vihara tersebut. Vihara majapahit merupakan suatu tempat dimana terdapat sebuah patung Buddha yang sangat besar dan panjang. Patung Buddha tersebut terletak di halaman terbuka. Kemungkinan besar itu sengaja dibuat diluar Vihara. Dharmasala terbuka ini dibuat sedemikian sehingga pada acara perayaan agama Buddha bisa dilaksanakan diluar. Buddha rupang tersebut sedang berbaring yang menceritakan bahwa Sang Buddha saat Parinirvana.




BAB III
PELAKSANAAN DHARMAYATRA

A. Pelaksanaan Upacara Ritual

1. Sebelum Memasuki Daerah Sakral/Tempat Suci, yaitu:
a. Siapkan fisik secara benar.
b. Siapkan sarana altar (sarana utama)
c. Siapkan buku catatan
2. Di Daerah Sakral/Tempat Suci
a. Sikap tenang, anjali, perhatian pada objek dengan perenungan Buddha, Dharma, dan Sangha.
b. Puja Bakti
1) Puja Bhakti di Vihara
- Puja Bhakti diawali dengan duduk bertumpu lutut, bersikap anjali menghadap altar
- Penyalaan lilin dan dupa
- Pembukaan (Namakara Patha)
- Tisarana
- Pancasila
- Ratana Sutta bait 3,4,5,6,7 dan14
- Meditasi selama 30 menit
- Pattidana
- Penutup (Terjemahan dari Namakara Patha).
• Jika dihadiri Bhikkhu (Tisarana Pancasila Aradhana, Meditasi oleh Bhikkhu, Dhammadesana Aradhana).
2) Puja Bhakti di Candi atau Stupa
- Puja Bhakti diawali dengan berdiri dan bersikap anjali menghadap Candi atau Stupa
- Penyalaan lilin dan dupa
- Pembukaan (Namakara Patha)
- Tisarana
- Pancasila
- Pradaksina 3 kali (membaca Buddhanussati, dhammanussati, Sanghanussati berulang-ulang dengan membawa dupa atau bunga)
- Meditasi selama 30 menit.
- Pattidana
- Penutup (Terjemahan dari Namakara Patha).



3) Sebelum Meninggalkan Daerah Sakral atau Tempat Suci, yaitu:
- Mengemasi perlengkapan altar dan sarana puja bhakti,
- Membersihkan sampah di tapak upacara ritual,
- Memeriksa barang bawaan

B. Hasil Pembelajaran Objek Dharmayatra

Setelah melaksanakan dharmayatra penulis dapat mengetahui tempat-tempat suci agama Buddha yang ada di indonesia. Tempat-tempat suci tersebut perlu mendapat perhatian khusus untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh umat Buddha. Tempat-tempat suci tersebut sampai sekarang ini masih kurang mendapatkan perhatian dari kita sebagai umat Buddha. Bahkan sampai sekarang ini umat Buddha tidak memberikan respon sama sekali terhadap penjagaan dan pelestarian terhadap tempat-tempat suci tersebut. Justru yang menjaga dan melestarikan tempat-tempat suci tersebut adalah umat non buddhis.

C. Hambatan Dharmayatra

1. Di beberapa tempat yang dikunjungi sebagai obyek Dharmayatra tidak terdapat nara sumber yang dapat memberikan gambaran mengenai seluk-beluk berdirinya bangunan tersebut.
2. Waktu yang tersedia sangat terbatas sehingga hasil yang diperoleh dalam kegiatan tersebut kurang maksimal.
3. Pembimbing yang kurang memberi pengarahan bagi para peserta sehingga peserta kurang begitu memahami tujuan dari obyek Dharmayatra tersebut.

D. Upaya Mengatasi Hambatan

1. Di beberapa tempat yang dikunjungi sebagai obyek Dharmayatra tersebut harus ditunjuk satu orang yang mengetahui tentang seluk-beluk berdirinya bangunan tersebut agar dapat memberikan gambaran yang jelas bagi para pengunjung yang datang ke sana.
2. Para pengunjung dapat membeli buku panduan yang telah tersedia disana, apabila tidak terdapat pemandu atau nara sumber.
3. Para perserta Dharmayatra harus dapat memanfaatkan waktu, jika waktu yang tersedia sangatlah terbatas, sehingga yang diperoleh maksimal.
4. peserta dapat mencari informasi melalui pemandu, jika pembimbing kurang memberikan pengarahan.








BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

Dharmayatra merupakan salah satu bentuk kegiatan ritual yang berkembang dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan agama Buddha, dimana tempat-tempat tersebut mempunyai makna sakral atau suci. Selain itu kegiatan Dharmayatra ini juga memberikan kesempatan bagi umat untuk menghormati serta menjaga kelestarian tempat-tempat suci tersebut serta menambah pengetahuan tentang sejarah tempat-tempat yang dikunjungi.
Obyek Dharmayatra yang berada di Jawa Timur, diantaranya candi-candi dan vihara-vihara besar di Jawa Timur, serta peninggalan bersejarah dalam agama Buddha dan merupakan sebuah bukti nyata bahwa agama Buddha telah berkembang sejak zaman dahulu, sehingga perlu dilestarikan dan kebudayaannya tetap terjaga.

B. Saran
Semoga Dharmayatra yang akan datang dapat berjalan lancar dan akan menjadi lebih baik sebagai mana yang diharapkan oleh penulis. Penulis berharap Dharmayatra yang akan datang sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan oleh panitia penyelenggara Dharmayatra. Panitia sebaiknya mematangkan dulu persiapan sehingga dalam pelaksanaan Dharmayatra tidak terjadi masalah- masalah yang dapat mengganggu pelaksanaan Dharmayatra. Penentuan dosen pembimbing Dharmayatra sebaiknya berdasarkan atas asas kebersamaan, agar terjadi timbal balik dan proses pembelajaran. Artinya, Pembimbing Dharmayatra hendaknya tidak semua berasal dari para dosen senior tapi juga dosen yunior dilibatkan. Kegiatan Dharmayatra ini sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan tidak hanya sekali ini saja, karena kegiatan seperti ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mahasiswa terutama tentang peninggalan-peninggalan sejarah yang berhubungan dengan agama Buddha.














Lampiran

ss
Vihara Samaggi Jaya Museum & Makam Bung Karno

Candi Panataran Panti Semedi Balerejo

Padepokan Dhammadipa Arama STAB Kertarajasa

Stasiun Dhamma TV Stupa Sumberawan

Pusat Informasi Majapahit Gapura Bajangratu

Candi Tikus Situs Kedaton

Candi Brahu Mahavihara Majapahit
DAFTAR PUSTAKA

Bhikkhu Pesala, 2002. Milinda Panha, Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna.

Diputhera Oka, 2004. Meditasi I, Jakarta: Vajra Dharma Nusantara.

Tim Penyusun Departemen Agama. Saddharma-Pundarika Sutra, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu dan Buddha.

Tim penyusun Departemen Agama, 1989. Maha Parinibbana Sutta, Jakarta: C.V. Lovina Indah.

Tim Penyusun Departemen Agama, 2006. Buku Pelajaran Agama Buddha SMP Kelas II, Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun Kusumajaya, Made I, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit, Trowulan: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur.

Wisnoewhhardono, Soeyono, 1905. Memperkenalkan Komplek Percandian Panataran, Mojokerto: KPN. Purbakala.